Telah kulepas pergi 2 judul puisi pagi ini untuk bersarang dalam google form penyelenggara even sayembara menulis puisi berskala nasional bagi pemuisi baik yang tinggal di kepingan gugusan pulau nusantara maupun yang bermukim di negeri manca.
Coba, bantaran sungai mana yang luput dari jamahan manusia? Hampir mustahil ada sungai yang dibiarkan tetap perawan penuh dengan pohon nipah dan rasau (tanaman sejenis pandan), tumbuh lebat dan rindang berdampingan, dan pepohonan lain di sisi tebingnya.
![]() |
| Sungai Kali Kuto membelah jalan tol Semarang--Batang (Jawa Tengah) | foto: zabidi yakub |
Membuka lapak usaha di bantaran sungai bahkan mendirikan bangunan semi permanen di pinggir jalan di atas sungai, adalah cara mudah dan murah kaum urban menegakkan kehidupan secara amat bersahaja tanpa merasa berdosa terhadap alam.
Bagi kaum urban, sungai diakui sebagai "ibu" yang melahirkan kehidupan setelah kelahiran pertama mereka dari gua garba ibu kandungnya. Karena itu, di mana ada sungai, di situlah mereka "menyusu" melalui usaha produktif dan simbiosis mutualisme.
Bagi perantau yang pergi meninggalkan kampung halaman sekaligus meninggalkan sungai yang dulu membersihkan tubuh mungilnya dari darah sesaat setelah lahir, niscaya akan merindukan sungai itu dan tebersit niat hendak pulang menziarahinya.
Dua judul puisi yang berangkat "merantau" pagi ini tadi, tentang sungai dan budaya masyarakat yang menggantungkan kehidupan padanya. Sungai juga tak ayal akan mengecewakan mereka ketika banjir bandang datang tak diundang memorakporandakan.
Sungai yang tak kenal berhenti, terus mengalir baik tenang maupun deras, padanya manusia antusiasme menggantungkan kehidupan, menuju muara. Pada sungai terkandung simbol; kesejukan, kedamaian, ketenangan sekaligus diam-diam menghanyutkan.

Komentar
Posting Komentar