Langsung ke konten utama

Mbah Sayem vs Mbah Tarman

Kota kelahiran Pak SBY ini menyimpan banyak keajaiban dunia. Pantai-pantai yang cantik, di antara yang diminati para surfer (peselancar) luar negeri, Pantai Watukarung. Gulungan ombaknya membuat peselancar asyik bermain-main, bercanda dengan ayunannya.

Gua-gua yang bertebaran di beberapa tempat jadi ‘jualan’ Dinas Pariwisata Kabupaten Pacitan untuk memantik minat para wisatawan baik domestik maupun mancanegara datang berkunjung. Maka, pantas saja kota di pesisir selatan dan ujung barat Provinsi Jawa Timur ini dijuluki Kota 1001 Gua.

Si empunya blog di depan Museum Song Terus

Museum & Galeri SBY * ANI, tak salah, di sinilah tempat menjelajah medan juang ke-TNI-an Bapak SBY dan juga Ayahanda beliau. Tak kalah dengan gua yang ada di Pacitan, di museum ini dipajang 1001 kenangan Pak SBY dan Ibu Ani sepanjang kebersamaan dan pengabdian terekam sempurna.

Penemuan fosil purba di Situs Song Terus, Punung, Pacitan, yang oleh penelitinya diberi nama Mbah Sayem, menjadi bukti bahwa manusia modern ras Australomelanesid juga menghuni gua-gua di kawasan karst Gunung Sewu (membentang di wilayah Gunung Kidul, Wonogiri, dan Pacitan).

Rangka Mbah Sayem merupakan seorang laki-laki dengan penguburan terlipat, miring ke arah kanan membelakangi dinding gua yang ditemukan di K-9. Di sekitar rangka Mbah Sayem ditemukan berbagai alat batu dan alat tulang, serta tengkorak wajah monyet. Membuktikan peradaban zaman batu.

Pertanggalan Mbah Sayem menghasilkan angka 8.500 tahun yang lalu. Rangka Mbah Sayem ini disimpan dalam Museum Song Terus. Song bukan bermakna lagu, melainkan gua, Terus karena dari mulut gua lorong di dalam tembus ke belakangnya sejauh 70 meter. Di dalamnya ada sungai kecil.

***

Kita tinggalkan gua, pantai, dan museum. Ada hal yang membuat Pacitan agak laen. Beberapa kali viral oleh berita-berita absurd. Oknum polisi yang (tak beradab) begitu tega memperkosa tahanan, beritanya viral. Yang terbaru, seorang Mbah usia 74 tahun berhasil membuat Pacitan kembali viral.

Mbah Tarman, lelaki gaek berasal dari Karanganyar, Jawa Tengah, yang mungkin puber kelima, memberi “harapan palsu” kepada seorang Shela Arika, gadis berusia 24 tahun dari Desa Sidodadi, Kecamatan Bandar, Kabupaten Pacitan, sehingga seperti tersengar sutet.

Dengan menjanjikan mahar Rp3 miliar, Mbah Tarman berhasil mementaskan drama sekian babak. Babak pertama, ia berhasil meyakinkan Shela mahar Rp3 M. babak kedua, ia memajang mobil mewah di acara resepsi, membuat warga sak mBandar terkesima.

Babak ketiga, tak ada yang tahu, mobil mewah yang dipajang itu ternyata mobil rental yang digadaikannya Rp50 juta untuk biaya resepsi pernikahan. Babak keempat, sehabis “anu” dengan Shela, ia kabur membawa motor Shela dengan alasan hendak membeli rokok.

Mementaskan drama tiga atau lebih babak. Aih, Mbah Tarman “menang banyak” dong. Hidup Shela dibuat Mbah Tarman ‘nihil’ makna atau nilai. Friedrich Nietzsche menggambarkan nihilisme sebagai suatu proses di mana “nilai-nilai tertinggi mendevaluasi dirinya sendiri.”

Bagi orang yang menjunjung etika moral dan nilai, cinta adalah buah dari perasaan yang diagungkan, maka pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Tidak begitu bagi Mbah Tarman. Ia membuat makna cinta begitu absurd dan pernikahan tak ubahnya sinetron di televisi.

***

Kota 1001 Gua punya banyak cerita. Cerita tentang rangka Mbah Sayem yang disimpan di Museum Song Terus betul-betul memiliki nilasi sejarah tentang peradaban manusia sejak zaman batu hingga zaman modern di era digital, disrupsi, artificial intelegence (AI) saat ini.

Cerita tentang Mbah Tarman, tak kalah memiliki nilai sejarah. Yatu sejarah tentang betapa seonggok daging dalam tubuh manusia yang bernama hati, mengandung saripati perasaan yang mudah diombang-ambingkan. Hati adalah organ vital yang mudah memperdaya dan terpedaya.

Erich Fromm menulis The Art of Loving (Seni Mencintai) karena baginya, cinta seperti seni yang memerlukan pengetahuan dan pengalaman. Banyak versi tentang definisi cinta. Masing-masing orang bisa mengondisikan cintanya pada versi yang menurutnya pas dengan yang dialaminya.

Banyak yang melihat masalah cinta sebagai problem dicintai sebagai obyek, bukan mencintai sebagai bakat atau perilaku. Menurut Erich Fromm, problem cinta yang dilakukan kali pertama ialah bagaimana mencintai, bukan mencari obyek yang tepat untuk dicintai.

Nah, apakah Mbah Tarman memperdaya Shela mempergunakan ilmu, seni, dan pengalaman? Apakah Mbah Tarman juga pernah membaca buku Seni Mencintai? Jawabnya absurd. Erich Fromm hanya berteori, Mbah Tarman mengimplentasikannya dalam praktik nyata.

Yah, begitulah absurditas kehidupan. Tawa dan tangis akan tumbuh dalam kehidupan orang-orang tak ubahnya pergantian musim dan cuaca yang mudah ditebak. Kendati BMKG mewartakan ramalan cuaca akan panas sampai petang, kiranya hujan dating tengah hari.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...