Langsung ke konten utama

Jalan Daendels dan "Luka Sejarah"

Kembali ke kota kelahiran bojo. Bukan perkara mudah lho, menempuh perjalanan melintasi jalan pantai utara (pantura) Jawa, melainkan perkara amat berat kalau saja tidak kuat fisik serta ada jalan tol, apalagi terpaksa mesti menyetir kendara sendiri.

Tapi, perkara mudah itu bisa lho dirasakan dengan adanya jalan tol. Begitu kendara nongol dari dalam lambung kapal, langsung disambut jalan tol Merak (Cilegon) tak putus hingga Ketapang (Banyuwangi) kecuali exit ke jalan poros peninggalan Daendels.

Dahulu, jalan tol masih sebatas dalam kota Jakarta dan belum menyambungkan kota-kota antar-kota dan antar-provinsi, jalan pantai utara (pantura) Jawa adalah satu-satunya akses arus mudik dan halik saat musim libur Lebaran Idulfitri atau libur semesteran.

Warung Sate legendaris sejak tahun 1972 di Jl. Raya Daendels, Purworejo.

Jalan Daendels adalah nama yang merujuk Jalan Raya Pos atau Jalan Raya Anyer--Panarukan (lintas utara dan lintas selatan), dibangun masa Herman Willem Daendels (perwira militer Belanda) jadi Gubernur Jendral Hindia Belanda kurun waktu 1808--1811.

Jalan Daendels di lintasan utara melewati Semarang, Rembang, Tuban, Panarukan. Dan lintas selatan dari Purwokerto menuju Purworejo, Jogja, Madiun, dan terus ke Panarukan. Dibangun dengan sistem kerja paksa (kerja rodi), tercatat sebagai "luka sejarah."

Panarukan masa itu merupakan pelabuhan penting sejak zaman kerajaan Majapahit. Nama Situbondo lebih akrab bagi masyarakat umum setelah nama Panarukan hanya merupakan sebuah kecamatan dalam struktur kewilayahan kabupaten Situbondo.

"Raja Sate Purworejo" di Jalan Raya Daendels.

Selumbari (kemarin dulu), Rabu, 15 Oktober, kami susuri Jalan Daendels di poros Tegal. Merasakan kembali jalan yang dahulu kala sering jadi jebakan kemacetan saat musim mudik Lebaran Idulfitri. Begitu pun arus baliknya dan libur semesteran.

Sewaktu ke Jawa di bulan Agustus yang lalu, kami melewati Jalan Daendels poros selatan pada kota Purworejo. Pada baliho sebuah rumah makan sate (warung sate) legendaris (lihat foto di atas), tertulis nama alamatnya "Jalan Raya Daendels - Purworejo."

Warung sate dengan baliho besar di atas atap teras depan bertuliskan "H. Subali Raja Sate - Purworejo" plus dengan embel-embel "legenda sate sejak 1972" tetapi masih perlu pula menegakkan sebuah baliho besar di pinggir Jalan Raya Daendels di depannya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...