Langsung ke konten utama

Dialog Lima Sungai (2)

Senin (20/10) pukul 21:34 salah satu panitia even menulis puisi Dialog Lima Sungai yang juga jadi admin grup WA penyair peserta, mengunggah pengumuman hasil kurasi puisi sebanyak 117 penyair di mana 28 atau 38 di antaranya penyair bertanda SM (sedikit memungkinkan) untuk lolos. Mengundang reaksi dan komentar panas dari penyair yang gamang.

Kata panitia, hanya akan diambil 100 penulis atau 100 puisi untuk dibukukan dalam antologi. Hanya katanya. Kenyataannya, setelah ribut-ribut dalam komentar panas itu, hasil kurasi awal dihapus, dihilangkan barang buktinya. Tapi, saya sempat menghitung hasil kurasi keseluruhan ada 117 semuanya dengan 28 atau 38 (agak lupa) yang bertanda SM.

Sungai Kahayan membelah Kota Palangkaraya Kalimantan Tengah. Sebuah pemandangan indah yang jarang kita lihat di kota lain. (Foto: IG @caturmukha)

Rabu (22/10) pukul 11:23 tadi, keluar daftar hasil kurasi dalam format teks pdf. Yang mengejutkan, katanya hanya akan diambil 100 puisi untuk dibukukan dalam antologi, nyatanya bengkak jadi 121. Pada pengumuman pertama yang memancing keributan, penyair yang namanya tak ada jadi ada, yang semula ada jadi hilang, SM ada yang lolos ada yang hilang.

"Manusia Indonesia" buku karangan Mochtar Lubis menguliti watak orang Indonesia. Salah satu watak yang menonjol adalah hipokrit atau munafik. Watak ini menjadikan orang susah memegang teguh janji, menggenggam erat-erat konsistensi. Perencanaan (kadang) menyimpang jauh dengan pelaksanaan. Contohnya, katanya hanya 100, kenyataannya 121.

Pada pengumuman pertama yang uhuy itu, nama saya termasuk yang bertanda SM. Saya tak terpancing untuk berkomentar. Saya menyimak adu argumen yang juga uhuy. Dalam semua even menulis puisi yang saya ikuti, saya tidak menggantungkan ekspektasi tinggi-tinggi. Lolos kurasi, alhamdulillah. Itu berkah namanya. Tak lolos kurasi, ya, gak marah-marah juga.

Even menulis puisi yang ditaja Dewan Kesenian Palangka Raya, seperti pengakuan mereka, memang merupakan even pertama. Ya, layak ditulis dengan tebal dan digarisbawahi. Karena itu, sangat pantas untuk dimaklumi bila terdapat kekurangan di sana sini. Wajib hukumnya bagi panitia penyelenggara untuk menjadikan kekurangan sebagai pelajaran berharga.

Manusia tempatnya khilaf dan salah. Melakukan kesalahan tanpa ada unsur kesengajaan, sangat manusiawi. Apalagi dalam hal pekerjaan yang baru kali pertama diselenggarakan, seperti festival sastra Dialog Lima Sungai. Belajar dari kekurangan atau kesalahan sangat penting demi perbaikan di masa depan, meliputi kematangan program, persiapan, dan pelaksanaan.

Selamat untuk para penyair yang puisinya lolos atau "diloloskan" dan panitia penyelenggara selamat melakukan mawas diri dan introspeksi. Kesempurnaan hanya milik Allah Azza Wajalla. Namun demikian, sebagai manusia biasa, dengan perencanaan yang matang, pelaksanaan yang serius, dan pengawasan yang terukur, niscaya akan bagus hasilnya.

Dengan penuh kehati-hatian, (seorang) panitia yang meng-share pengumuman, merangkai kalimat permintaan maaf atas kesalahan yang telah ia lakukan. Ia memikul tanggung jawab sendiri, hal itu sebagai kesalahan pribadi. Ia juga menyampaikan apologi, penyair yang semula tak ada jadi ada, yang semula ada jadi hilang, yang semula SM jadi ada dan juga hilang.

Even festival sastra yang baru kali pertama dihelat di Kalteng, ini dinamai "Dialog Lima Sungai". Tapi, sepertinya antara satu dan lain pihak (antarpanitia) tidak atau kurang menekankan pada kata "dialog" tersebut, sehingga pengumuman yang masih setengah matang sudah di-share. Ya, namanya baru kali pertama, seperti orang buta berjalan.

Kok seperti orang buta berjalan? Karena berjalannya (menjalankan) program sambil meraba-raba konsep dan pelaksanaannya. Dalam ilmu manajemen, ada POAC (Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling). Berpedomani pada 4 fungsi dasar manajemen itu, even apa pun bisa dilaksanakan dengan baik, dan hasilnya tentu akan bungas banar!!!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...