Bagus juga ada even menulis puisi tentang sungai dan lingkungannya yang ditaja oleh Dewan Kesenian Palangka Raya yang mengusung tema besar “Dialog Lima Sungai” dan tema kecil “Meneguhkan Kembali Sungai Sebagai Suar Sastra Masa Kini Dan Yang Akan Datang.”
Bagi masyarakat Kalimantan, keberadaan sungai sangat
vital. Tanah Pulau Borneo yang dominan gambut, membuat sungai memiliki nilai ‘lebih
padat’ dibanding tanah. Pasalnya, membangun jalan raya di tanah/lahan gambut
memunculkan tantangan tersendiri. Bukan berarti tidak mungkin.
![]() |
| Jembatan Mahakam | wikipedia bahasa indonesia |
Tetap ada jalan raya dalam kota dan Jalan Lintas Kalimantan
dari Barat ke Timur, disambungkan jembatan panjang yang terbentang
di atas sungai-sungai yang lebar di sana. Namun demikian, penduduk di pedalaman dalam berinteraksi dan bepergian lebih sering menggunakan sungai.
Rumah apung atau rumah lanting di masa lalu tentu sangat bergantung
pada moda transfortasi sungai seperti perahu kelotok dan kapal besar. Kendati rumah
lanting kian ditinggalkan seiring majunya peradaban, fungsi sungai sebagai ladang
kehidupan tetap tak tergantikan oleh apa pun.
Pasar apung, kapal-kapal besar dan perahu kelotok yang
lalu lalang di bawah jembatan Mahakam, burung dan capung yang beterbangan di
atasnya, menyimbolkan betapa sungai di Pulau Kalimantan memiliki nilai lebih
daripada sebagai anugerah alam. Tapi, dihargai sebagai inang.
Sayembara puisi Dialog Lima Sungai, mengarahkan
pikiran untuk menggali ingatan tentang harmoni antara manusia dan alam yang
ditinggalkan masyarakat agraris, melahirkan idiom-idiom budaya seperti huma
atau ladang, peternakan, kemakmuran, dan kesejahteraan yang berkait.
Masyarakat agraris mengekplorasi hutan hanya sebatas
untuk menanam dan memanen, terciptalah ladang berpindah. Kendati berpindah-pindah,
alam tidak begitu terganggu dengan kehadiran manusia. Persahabatan alam dengan
manusia melahirkan syair lagu dan gubahan sajak.
Ritta Rubby Hartland, penyanyi country tahun 1980an,
terkenal dengan lagu “Alam dan Penciptanya” menyuarakan tentang keangkuhan
manusia ‘berjaket pecinta alam’ yang menganiaya gunung, pepohonan, ‘batu-batu
cadas merintih kesakitan ditikam belatimu’ atas nama heroik.
Ya, Ritta Rubby Hartland menjadikan lagu sebagai
medium menyauarakan sastra lingkungan. Lirik lagunya mengungkapkan kritik sosial
tentang keangkuhan manusia terhadap alam dan lingkungan. Kendati bertubi kritik
disuarakan aktivis, pemangku kebijakan seperti kebal rasa.
Apalagi di masa yang mbuh ini, pemangku kebijakan bisa seenaknya memelintir regulasi
demi menyenangkan hati pemilik cuan. Pulau, hutan, bahkan laut ‘diserahkan’ ke
pemilik modal untuk mereka jadikan apa saja. Diurug jadi perumahan, ditambang
menggali nikel di perut Bumi.
Tinggallah kritik apa pun bentuknya. Mengalirlah lagu
dan puisi, hanyut oleh derasnya sungai kekuasaan. Bahkan, suara lantang para
aktivis lingkungan dan sosial, terdengar sayup sampai. Di telinga mereka hanya
dimaknai angin kencang sesat dan nanti akan reda dengan sendirinya.
.jpg)
Komentar
Posting Komentar