Saya serta istri, sepulang dari Jember, mampir Surabaya tilik anak, kemudian numpak kereta malam menuju Jakarta terus ke Kota Depok tilik anak mantu. Pegal pada sekitar panggul hingga betis kaki akibat duduk berjam-jam belum benar-benar tiris.
Sebagai bentuk sayang anak mantu ini, kami berdua ditawarkan henda jalan-jalan ke mana? Karena rasa pegal itulah, kami agak kurang antusias mengiyakan tawaran itu. Ada jiwa, tapi kurang tenaga, begitulah rasanya lansia. Tapi, sudah kepalang sayah, hayo aja.
![]() |
| Perpustakaan UI, Kota Depok |
Akhirnya sepakat ke kampus UI, waktu sudah jelang zuhur. Mampir terlebih dahulu ke masjid Ukhuwah Islamiyah, mendirikan salat zuhur, kebetulan gema azan baru saja pergi menjauh. Selagi wudu, iqamah dikumandangkan. Berlari-lari sa'i masuk ke masjid.
Satu rakaat ketinggalan. Selesai salat kami jeprat-jepret dahulu mengambil latar Danau Kenanga dan kampus yang ikonik. Lalu kami masuk perpustakaan, setelah lapor dan membayar bea adminstrasi sebagai pengunjung. Saya cari kode rak untuk genre sastra.
Seperti masuk toko buku pada biasanya, saya kalap bila melihat buku bagus-bagus. Sayangnya, masuk toko buku terkendala tak semua bisa dibeli, ngukur kekuatan kantong. Masuk perpus UI, tak ada yang bisa dibawa pulang. Bukan pemegang kartu anggota.
Seperti yang sudah saya posting di blog ini dahulu pada tanggal 11/7/'25, bahwa perpustakaan adalah jantungnya peradaban. Karena itu, masuk gedung perpus UI yang megah serta berhawa semriwing, ibaratnya meraba jantung dalam tubuh peradaban.
Ya, gedung/kampus tak ubahnya tubuh peradaban dan ruang perpus tak ubahnya jantungnya. Saya langsung masuk ke tubuh peradaban dan meraba jantung peradaban. Agar benar-benar menyentuh, saya pilih ke urat nadinya peradaban, yaitu sastra.
Benar, jika ruang perpustakaan adalah jantungnya peradaban, maka buku-buku yang dijajar di rak-rak, saya mengibaratkannya "urat nadi peradaban" dan khusus buku bergenre sastra, saya menganggapnya merupakan salah satu dari urat nadi peradaban itu.
Masuk ke tubuh peradaban, meraba jantungnya, dan dibetot denyut nadinya, sungguh saya takut ditujah tajamnya diksi dalam buku sastra yang saya bolak-balik, hanya bisa membacanya sekilas. Segera saya lepaskan, kembali ke pangkuan rak perpustakaan.

Komentar
Posting Komentar