Langsung ke konten utama

Toponimi

Sediakalanya, hari Rabu (22/10) kemarin, saya menghadiri undangan acara diskusi dua buku mengenai toponimi, meliputi; "Toponimi Sumbagsel" dan "Toponimi Bandar Lampung" yang dilaksanakan di Gedung Olah Seni UPTD Taman Budaya Provinsi Lampung Jl. Cut Nyak Dien 34, Tanjungkarang Pusat.

Acara bagus ini terselenggara atas kerja sama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung dan Akademi Lampung, di dalam rangka pengembangan dan pemajuan kebudayaan di Provinsi Lampung.

Diskusi buku toponimi adalah salah satu tangkai acara dalam Pekan Kebudayaan Daerah (TKD) Lampung ke-4 yang dihelat UPT Taman Budaya Lampung selama lima hari, 20-25 Oktober 2025. 

Kedua buku toponimi tersebut diterbitkan Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung. Sejak jauh hari sebelum terbit, saya sudah ancang-ancang untuk memiliki. Bukan apa-apa, kedua buku ini berkait erat dengan (ke)budaya(an) yang merabuki tumbuh besar saya.

Budaya seperti apa? Secara demografi, saya lahir tumbuh besar di Sumbagsel, tapi secara bahasa dan adat budaya, saya tinggal menetap di Kota Bandar Lampung, sehingga bisa masuk ke dalam ranah dua toponimi, yaitu Sumbagsel dan Bandar Lampung.

Saya merasa mendapat kehormatan atas undang tersebut. Sejatinya antusias untuk menghadirinya. Sayang sekali, tersebab ada urusan keluarga, saya sedang berada di Pacitan sehingga tak bisa hadir membersamai teman-teman dalam kegiatan ini.

Di samping urusan keluarga (menengok Mas sakit), saya terjadwal untuk menghadiri peluncuran buku antologi puisi serumpun Semesta Ingatan - Trauma dan Imaji Kebebasan pada Temu Karya Serumpun, Forum Sastra Timur Jawa di Jember, 25--26 Okt.

Karena tergopoh-gopoh berangkat ke Pacitan pada Rabu (15/10), kedua buku toponimi yang saya ambil langsung di kantor penerbitnya pada Selasa (14/10), belum sempat saya baca. Bahkan, segel plastik pada sampul belum saya buka. Terjeda oleh perjalanan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...