Langsung ke konten utama

Daendels (Lagi)

Postingan tanggal 17 Oktober 2925 yang lalu saya cerita perihal jalan pos atau jalan raya Daendels. Jalan ini mengular sedari Anyer (Serang)  di Banten sampai Panarukan (Situbondo) di Jatim.

Nah, baru saya sadari, 21 Oktober -hari ini- adalah tanggal lahirnya Herman Willem Daendels. Apabila dihitung mundur ke tahun kelahirannya 1762, maka tahun ini ultahnya ke-263. Hanya hitungan belaka.

Herman Willem Daendels

Kenapa hanya hitungan belaka? Karena belum ada sejarah, manusia biasa hidup hingga berumur 200 tahun apalagi lebih. Kalaupun ada orang panjang umur, paling 100 tahun atau lebih. Kasus langka.

Hari ini saya menulis lagi perihal Daendels dengan judul " Daendels (Lagi)". Kompeni satu ini, kendati menerapkan kerja paksa yang menjadi luka sejarah bagi bumiputera, namun karenanya ada jalan pos.

Karenanya atau berkat Daendels dan kerja paksa, tercipta jalan membentang dari Barat Jawa ke Timur Jawa. Jalan yang begitu legendaris, menghubungkan, menyatukan, dan mengekalkan ikatan masyarakat.

Sebelum ada jalan tol yang lebih mempercepat laju kendara mencapai tujuan, jalan pos atau jalan raya Daendels inilah akses utama lalu lalang kendara di sekujur Jawa. Menyeberang dari Pulau Sumatra.

Pertama menginjakkan kaki di Pelabuhan Merak turun dari kapal Krakatau pertengahan 1979, kami mengarungi Selat Sunda dari pelabuhan Srengsem, Panjang, Lampung. Lalu, melewati jalan pos inilah.

Dari Merak kami menuju Terminal Kalideres, naik bus untuk singgah dan istirahat dahulu di Bekasi, tempat sepupu. Sore ke Terminal Pulogadung, lalu perjalanan menuju Yogya, kami jalani malam hari.

Pagi subuh esok, Bus Adam tiba di jalan Pangeran Mangkubumi (sekarang Jl. Margo Utomo) Yogya. Kami ngebecak menuju indekos di Klitren Lor di bilangan Jl. Solo (sekarang Jl. Oerip Sumohardjo).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...