Langsung ke konten utama

Batik Hardjonagoro

Sejak ditetapkan oleh UNESCO batik sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi atau takbenda (Masterpieces of the Oral and Intangible of Humanity) pada tanggal 2 Oktober 2009, maka di setiap tanggal tersebut semua lapisan masyarakat (ASN hingga pelajar), bahkan karyawan swasta, diimbau untuk mengenakan pakaian batik.

Tapi, kenapa Google tidak membuat doodle tentang Hari Batik tahun ini? Mungkin karena sudah pernah sebelumnya, maka tidak perlu lagi ada. Setelah saya telusuri, rupanya pada 11 Mei 2011 pada laman utama Google menampilkan doodle berupa sosok seorang pria berbusana tradisional Jawa membentangkan gulungan kain batik hitam dan coklat di sampingnya.

Sosok pria yang ditampilkan pada doodle google itu adalah KRT Hardjonagoro yang nama aslinya Go Tik Swan yang lahir di Solo pada 11 Mei 1931. Kita coba hitung mundur, berarti usianya 90 tahun. Jadi doodle google untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-90. Siapa ia sebenarnya? Ternyata pelopor batik di Solo. Ia mencintai batik karena sering melihat kakeknya.

Tentu saja, karena kakeknya adalah pengusaha batik sejak zaman kolonial. Saat ia belajar sastra Jawa dan tari di UI, latar belakangnya sebagai keluarga juragan batik terendus oleh Presiden Soekarno. Oleh karena itu, Presiden Soekarno meminta KRT Hardjonagoro menciptakan desain batik gaya baru. Di tahun 1950 permintaan Presiden Soekarno itu dapat ia penuhi.

Ada banyak ragam motif batik di Tanah Air, namanya pun menyematkan nama dari masing-masing daerah tempat batik itu dibuat. Namun, yang membuat batik menjadi lebih spesifik ialah penggunaan istilah ‘batik pesisiran’ dan ‘batik pedalaman atau batik klasik’. Batik pesisir berkembang di pesisir pantai utara Jawa (pantura Jawa) seperti Tuban dan Lasem (Rembang).

Teknik membatik di beberapa daerah di Tanah Air itu diadopsi oleh KRT Hardjonagoro dalam menciptakan batik sebagai upayanya dapat memenuhi permintaan Presiden Soekarno. Pada tahun 1970 ia menciptakan motif buatannya sendiri yang ia beri nama Kembang Bangah. Untuk penghargaan jasanya, ia diberi gelar Panembahan Hardjonagoro oleh Keraton Surakarta.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...