Langsung ke konten utama

Harvest Moon

Tahlilan niga-hari tetangga sebelah di malam purnama, tadi malam, ketika mendongak ke langit dari sela antara atap rumah dengan atap tarup, wajah rembulan yang kuning keemasan tampak lebih besar dari biasa. Tentu ada asbabun kisahnya. Piye?

Oh, ternyata, setelah saya klik notifikasi google, tautan Kompas.com menyebutkan purnama pada 7 Oktober termasuk fenomena langka, bukan fenomena biasa, dinamai harvest moon 2025 segaligus supermoon pertama tahun ini.

Harvest Moon bersinar di atas National Mall dari puncak Monumen Washington, USA, Senin, 6 Oktober 2025. | Reuters/Ken Nishimura  

Sayangnya, saya hanya bisa menikmati dengan mata kepala dan tidak dengan mata lensa. Saya tak biasa membawa hp saat menghadiri kenduri seperti tahlilan atau syukuran. Jadinya tak bisa mengabadikan momen langka tadi malam.

Sebenarnya bisa saja pulang mengambil hp kemudian memotretnya, tapi tak saya lakukan. Bubar tahlilan, jagongan (ngobrol) menemani keluarga sahibul musibah. Sembari menunggu untuk menyusun dan menyingkirkan kursi.

Tak elok rasanya, begitu tamu jemaah tahlil bubar, ikut pulang karena rumah duka sebelah persis. Adab bidup, menjaga kerukunan bertetangga lebih penting dari saudara yang berjauhan. Keberadaan tetangga nomor satu.

Bukan berarti dengan saudara yang berjauhan kita boleh tidak rukun. Analiginya begini, kalau ada rasa badan, misal sakit atau meninggal, tetangga terdekatlah yang dulun membantu. Saudara jauh butuh waktu di perjalanan.

Sakit, meninggal atau musibah apa pun akan membuat orang dirundung perasaan sedih. Bagi mereka, dunia terasa gelap. Kita yang hadir mengada, ibaratnya bulan yang menyinarkan cahaya, membuat gelap itu menjadi terang.

Ah, rembulan. Wajahmu yang lebih lebar dan cerah, glowing, kuning keemasan betapa menawan. Anggun seperti puteri. Biasanya harvest moon muncul bulan September berdekatan dengan equinox saat musim gugur di belahan Bumi Utara. Fenomena berubah.

Jarak waktu antara bulan purnama dengan equinox berubah sehingga fenomena harvest moon bergeser ke Oktober. Pada September purnama terjadi 15 hari sebelum equinox sedangkan purnama pada Oktober muncul 14 hari setelahnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...