Langsung ke konten utama

Ruang dan Waktu

Kenyamanan numpak sepur iku dari segi suhu dalam gerbong sudah sangat nyaman. Hawa sejuk dari air conditioner terasa semriwing membuat adem ayem. Tempat duduk empuk karena jok spons berlapis kulit yang nggak bikin gerah. Wes, pokoknya puenak sekepenake. Ayo, jangan ragu numpak sepur.

Begitulah yang saya dan istri rasakan kendati kereta kelas ekonomi seperti Sritanjung Jogja--Banyuwangi atau Logawa Purwokerto--Ketapang (Jember) yang premium. Namun, senyaman-nyamannya, bila jarak tempuhnya jauh, boyok lansia saya terasa pegal juga.

sekadar untuk ilustrasi, ini sangu saat kami bepergian bus atau kereta, Roti O plus kopinya.

Belum meluruh betul pegalnya boyok sehabis duduk seharian utuh di kursi Sritanjung yang terlalu tegak (kurang miring sedikit ke belakang) sehingga meski menyandar pun, badan tetap tak nyaman, pagi tadi berkereta lagi dengan Logawa (ekonomi premium) dari Jember ke Surabaya. Malam ini, jadinya, nggak pengin ke mana-mana, pengin cepat beristirahat.

Homestay ekonomis di-booking anak untuk saya dan istri istirahat. Sehabis mengikuti Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) di Banyuwangi, bulan Oktober tahun lalu, mampir lagi Surabaya, ya, menginap di sini juga. Seperti mengulangi peristiwa yang sama, sekarang menempati kamar yang sama juga dengan tahun lalu.

Ada lagi yang akan kembali diulang. Yaitu, saya akan merayakan birthday di Surabaya lagi, seperti tahun lalu. Karena acara Temu Karya Serumpun di Jember 25--26 Oktober 2025 ini, seperti beririsan waktunya dengan Jambore Sastra Asia Tenggara Banyuwangi pada 24--26 Oktober 2024 setahun lalu. Apakah, ini faktor kebetulan atau ketepakanEmbuh, yo, Le.

Nah, begitulah ruang dan waktu, berkelindan antara denyut nadi, tarikan dan helaan napas serta tarian tubuh bergerak ke sana kemari. Tahun lalu ruangnya Banyuwangi, waktunya Oktober. Tahun ini ruangnya Jember, waktunya juga Oktober. Tariannya, ya, sama, yaitu temu sastrawan yang disatukan oleh antologi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...