Langsung ke konten utama

Ia Duluan, Kita Nanti

Takziah warga perumahan kami (BKP) khususnya di RT. 012 bagi almarhum tetangga kami (di sebelah kiri rumah kami), pada peringatan tujuh-hari wafatnya, menghadirkan ustaz untuk memberi kajian perihal mati. Apa dan bagaimana semestinya mempersiapkan diri menghadapi kematian. Sudah cukupkah bekal yang akan dibawa?

“Pada seseorang, ada tanda-tanda kematian yang bisa dikenali dengan memperhatikan seksama,” kata ustaz. Apa saja tanda-tanda itu? Ustaz Fikriansyah merincinya; rambut yang mulai memutih (kepala ditumbuhi uban), badan mulai ringkih (duduk saat takziah mesti senderan), dan telinga yang mulai tuli (berkurangnya pendengaran).

Ustaz Fikriansyah

Ustaz bertanya, berapa usia si almarhum? Dijawab oleh hadirin…... “Oh, masih muda. Tua saya satu tahun,” timpal ustaz. Tetapi, urusan mati, lanjutnya, bukan masalah apa masih muda atau sudah tua, melainkan ditentukan usia, ditentukan takdir Allah Swt. “Seperti almarhum ini, masih muda mati. Ada sudah sepuh, belum mati,” tegas ustaz.

Si almarhum ini duluan, kita nanti. “Ia ini duluan, kita nanti, begitulah sebagaimana garis takdir mengguratkan usia manusia.” Karena itu, sebelum sampai masanya kita menyusul, sebelum sampai ajal kita, baiknya persiapkanlah bekal dengan perbuatan amal sebanyak-banyaknya. Salat jangan sampai lalai, sedekah juga upayakan semampunya.”


Dari Tausiah pada Takziah Tujuh-Hari

Puisi Zabidi Yakub

Doa telah sampai ujung napas paling ritmis
dari Alif pada alfatihah hingga Nun pada aamiin
tangan-tangan yang tadi tengadah, berguguran

Tausiah ustaz telah sampai pada puncak paham
telinga-telinga yang menyimak kembali menutup
ada yang menyimpan apa yang ia dengar
menganggap penting untuk jadi pedoman
ada yang membuang, merasa tak membutuhkan

Sila duduk direnggangkan, kaki-kaki berdiri
para pentakziah berjalan pulang meninggalkan
kursi-kursi di bawah tenda duka seluas dua piece
membawa besek pemberian sahibul musibah
sebagai sedekah penebus doa yang di-aamiin-kan

Tapi, sebenarnya yang mereka bawa, tanda-tanda
kematian yang tumbuh di tubuh masing-masing:
rambut memutih, badan meringkih, telinga menuli

Tanda-tanda kematian itu niscaya datang
bagai jamur musim hujan, tumbuh pada seseorang
tapi, banyak yang tidak menyadari, luput mengerti
mengabaikan nikmat sehat dan waktu luang
melalaikan salat dan menyedekahkan uang

Pesan ustaz dari tausiah pada takziah tujuh-hari
kupunguti satu-satu, kupanggul kubawa pulang
kujadikan pelajaran, pemikiran, dan peringatan
“setiap yang berjiwa akan merasakan mati”
yang kita doakan mendahului, giliran kita nanti

 

Kemiling Permai, 12 Oktober 2025


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...