Langsung ke konten utama

Duka Ungu

Biasanya tiap azan di ponsel maupun di masjid bisa saya dengar dan bangun dari tidur siang. Entahlah hari ini, kedua panggilan salat itu luput dari pendengaran saya, mungkin kelewat capek, terutama pikiran dan perasaan. Tentang apa? Begini kisahnya.

Kemarin siang selagi saya sedang mendandani toren (tandon air) yang ada air rembesan menetes lumayan deras dan mesti ditampung, terdengar keributan di depan. Rupanya tetangga sebelah dilarikan ke klinik kesehatan pratama di perumahan sebab sesak napas.

Ilustrasi Bunga Kencana Ungu| foto: Indozone Life

Ia memang drop kesehatannya dan keluar nyari obat lalu mampirlah ke rumah kerabatanya. Disuguhi kopi sama gorengan, ngobrol, lalu ia mengeluh sesak, oleh kerabat diantar ke klinik terus mengabari istrinya di rumahnya, "Suaminya sesak, sudah diantar ke klinik."

Hasilnya? Toren yang saya tambal lakban lem beli di TikTok masih saja tetap menetes. Tetangga sebelah tadi, karena klinik merasa 'tak sanggup menangani' disuruh bawa saja ke RS. Dibawalah ke rumah sakit Bhayangkara, sesampai di RS dinyatakan telah tiada.

Kami (tetangga) langsung sigap membereskan rumah sahibul musibah, kursi tamu dan kursi teras dibawa keluar. Ada yang nyapu teras, ada yang menyiapkan tempat membaringkan jenazahnya. Dan menunggu ambulans dari RS datang, kami merasa duka ungu.

***

Ketika ada warga yang meninggal, tetangga se-RT terutama yang rumahnya berdekatan, diibaratkan 'sedekat jari-jari' dengan si sahibul musibah, akan bergerak melaksanakan kerja kolektif tanpa harus dikomandoi, menyiapkan pemulasaraan jenazah.

Ada yang menghubungi penggali kubur, panglong kayu untuk memesan papan penapis jenazah dan cungkup makam, ibu-ibu meronce kembang dan irisan pandan. Bapak-bapak mempersiapkan kain kafan, kapas, dan peralatan buat memandikannya.

Kerja estafet sejak kemari siang memasang tarup berikut kursi, menunggu dan menyambut jenazah dari rumah sakit, dilanjut tahlilan malam pertama disambung jagong menemani yang berduka hingga pukul 11. Praktis bobo siang sementara off dahulu.

Pagi tadi, bersama warga se-RT meneruskan kerja, tanggung fardhu kifayah menyempurnakan jenazah meliputi memandikan, mengafani, menyalatkannya, dan yang lebih afdal mengantar ke peristirahatan terakhirnya. Siang tadi saya mesti "bayar utang."

Ya, saya pulang dari pemakaman lebih cepat. Di saat liang lahad mulai ditimbun, saya pulang dan mampir warung padang beli ayam sayur, berdua istri makan. Istirahat belum jenak betul, waktu zuhur merambat semakin dekat. Saya bersiap-siap untuk ke masjid.

***

Habis zuhur, opsi "bayar utang" berupa bobo siang saya lakukan. Nyenyak sekali sampai-sampai azan asar di ponsel dan masjid tak saya dengar. Bangun pukul 4 sore, beban pikiran & perasaan 'duka ungu' lumayan agak enteng, membuat tubuh lebih fresh.

Ditambah lagi ketika saya membuka pesan di grup WhatsApp yang berjibun, hasil kurasi puisi Temu Karya Serumpun 2025, diumumkan. Alhamdulillah puisi saya termasuk dalam daftar yang lolos. Akan hadir ke Jember? Pengin sih, tapi entah nantinya.

Dari 1.146 puisi karya 380 penyair, terpilih 370 puisi dari 253 penyair untuk menghuni antologi bertema "Semesta Ingatan: Trauma dan Imaji Kebebasan." Bertambah lagi barisan buku yang akan mengasuh puisi yang saya buat dengan sepenuh hasil pikiran.

Sewaktu hendak mengunggah karya di google form panitia, sempat dibingungkan cara yang baru kali ini saya alami. Biasanya begitu diketik tautan bit.ly akan langsung ke halaman google form. Kali ini kok saya dihadapkan pada scan QR Code. Bingung saya, Dik!

Bertanyalah kepada anak di Surabaya, dipandunya. Dikasihnya arahan langkah-langkah apa saja yang mesti saya klik. Puisi bisa saya unggah dan hasilnya lolos kurasi. Kisahnya saya tulis di post blog berjudul "Zaman QR Code 1 dan 2". Kisah membagongkan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...