Langsung ke konten utama

“Kartini Masa Kini”

8 Dewi Keadilan laku prosesi Lampah Ratri di Tugu Pal Putih Yogyakarta (olah foto: TikTok @thankfulljogja)

Di antara hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terselip satu sosok “Kartini” masa kini. Kepadanya orang berharap ada agar hasil putusan sidang sengketa pemilu presiden yang akan diputuskan besok adalah seperti yang Kartini harapkan dahulu.

Raden Ajeng Kartini berharap agar bangsanya maju, bebas dari keterjajahan bangsa lain. Tetapi, semakin ke sini anak bangsa (negeri yang manis) ini justru dijajah oleh bangsanya sendiri. Dijajah secara ekonomi, hukum, dan kebebasan politik.

Hari ini diperingati sebagai Hari Kartini. Kartini-kartini muda tidak lagi terbelenggu kain jarit dan kebaya. Dengan fashion ala butik ternama mereka tampil mengusung kebebasan berekspresi. Narsis melakukan apa saja yang mereka suka.

Pendidikan yang mereka enyam pun sesuai dengan bidang peminatan masing-masing. Walaupun hasilnya belum tentu bisa menolong dirinya sendiri keluar dari peliknya dunia kerja yang butuh skill dan persyaratan administrasi njelimet.

Merindukan Kartini, bila batasannya hanya yang mampu mengenyam pendidikan tinggi, sudah cukup berhasil perjuangan Raden Ajeng Kartini. Kaumnya sudah pada pintar-pintar dan maju-maju. Berkarier di berbagai bidang profesi.

Namun, bila merindukan sosok “Kartini” yang “terselip” di barisan hakim MK, apa hasil putusan sidang sengketa kecurangan pemilu presiden, besok tanggal 22 April baru akan ketahuan, akan muncul sosok “Kartini” masa kini atau tidak.

Hersi Krisnawati, Koordinator Aksi beri keterangan pers kepada media di Tugu Pal Putih Yogyakarta (olah foto: TikTok @thankfulljogja)

Sebagai hasrat agar sosok “Kartini” di barisan hakim MK itu jadi suluh bagi hakim lelaki lainnya, delapan Dewi Keadilan Jawa lakukan prosesi Lampah Ratri dukung hakim MK memutuskan putusan dengan hati seterang lentera.

Delapan Dewi Keadilan Jawa laku Lampah Ratri dengan memutar mengelilingi Tugu Pal Putih Jogja dengan membawa lampu lentera dan pedang sebagai simbol keadilan. Mereka berjalan dengan mata ditutup kain tipis berwarna putih.

Mereka mengatasnamakan dari GARDA (Gerakan Rakyat untuk Demokrasi dan Keadilan). Tujuan mereka sangat sederhana, ingin memberikan lentera kepada para hakim yang besok hari Senin akan memutuskan hasil pemilu 2024.

“Kami berharap para hakim dapat mendapatkan penerangan jiwa. Bila jiwanya terang mudah-mudahan para hakim dapat memutuskan hasil pemilu seadil-adilnya, yaitu terkait apa yang sudah dilaporkan dan disidangkan di Gedung MK.

Kami belum tahu hasil keputusannya seperti apa, tetapi kami percaya hakim akan memakai hati nuraninya dengan terang seperti lentera ini dan menegakkan keadilan seperti tegaknya pedang ini,” kata Hersi Krisnawati, koordinator aksi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...