Dari Pogung ke Pugung

ss gmaps daerah Pogung, sebelah barat Jalan Kaliurang, Jogjakarta

Nurhidayah tidak berkedip matanya melihat postingan video di Instagram Jogjaku. Dia seperti kenal daerah itu karena dahulu ngekos di situ saat kuliah di Bulaksumur. “Tapi mengapa di kapsi video disebut labirinnya Jogja dan banyak komen pernah tersesat di situ.”

Dibacanya komen satu per satu. Banyak yang pernah mengalami tersesat karena banyak gang yang di ujung gangnya terpasang portal. Yang coba-coba masuk daerah itu di malam hari bila hendak keluar di atas pukul 10 malam, pasti akan kecegat portal di mana-mana.

Abang-abang gofood juga sering ada yang nyasar saat mengantar pesanan karena si pemesan salah memberi tanda titik GMaps. Mahasiswa yang main ke kosan temannya di situ juga tak luput dikerjai portal-portal di ujung gang. Terpaksa putar balik, eh ketemu portal lagi. Bolak-balik mutar-mutar sampai ketemu jalan yang nggak dipasang portal, di situ baru lolos dari jebakan.

Dari membaca komen-komen, Nurhidayah jadi yakin bahwa itu perumahan Pogung di sebelah barat Jalan Kaliurang. “Tapi ini perumahan yang mana,” batinnya. Seingat dia saat kos di situ tahun ‘80an, belum begitu ramai perumahan mewah. Karena itu, dia tidak tahu pasti di mana jalan-jalan atau gang-gang yang diportal itu. Dia jadi kangen Jogja. Juga kangen tempat kosnya.

Hampir 40 tahun Nurhidayah hidup menetap beranak-pinak di Pekon Pugung Penengahan, Pesisir Barat. Dahulu pertama dapat SK tugas mengajar di SMP di pesisir laut itu, dia masih berstatus gadis hitam manis. Lulus kuliah dia ikut tes penerimaan CPNS di Kanwil Depdikbud Yogyakarta. Lulus dan ditempatkan di sebuah SMP di Pekon Pugung Penengahan, Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung.

Pada waktu dia dapat SK tugas tahun ‘85an, Pekon Pugung masih bagian kabupaten Lampung Utara. Akses jalan pun masih lewat laut dengan jukung dari pelabuhan Kuala Stabas, Krui. Berhari-hari menangis dia mendapati nasib terlempar jauh dari orang tua di Boyolali. Memang dia bukan satu-satunya CPNS yang dilemparkan ke Pulau Sumatra, banyak teman-teman seangkatannya sesama pelamar calon abdi negara harapan bangsa disebarkan ke pelosok Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau lainnya.

Beruntung di SMP itu banyak guru pendatang lainnya. Secara senasib sepenanggungan, mereka saling menguatkan hati dan tekad untuk mengabdi pada negeri. Karena di SK tugas juga ada pernyataan “sanggup ditempatkan di mana pun di wilayah Indonesia.”

Lambat laun Nurhidayah mulai kerasan. Apalagi hatinya tertambat pada Fauzan, bujang setempat, guru SMA di sana. Nurhidayah yang berkepribadian Jawa, adatnya ramah dan pandai membawa diri, ditempa pula oleh kematangan berorganisasi di kampus, membuatnya mudah bergaul. Berpadu dengan adat ulun Lampung yang nemui nyimah, ramah pada tetamu.

Singkat kata, setelah merasa ada chemistry di antara mereka. Nurhidayah belajar mendekat kepada orang tua Fauzan. Sebagai abdi negara harapan bangsa, dia juga mencoba jadi “harapan mertua” dan dia berhasil. Diiringi keluarga, Fauzan dan Nurhidayah berangkat ke Boyolali untuk melakukan prosesi lamaran sekaligus akad nikah di sana.

Kerabat Nurhidayah ikut ke Pugung, menyaksikan ngunduh mantu dengan adat Lampung Pesisir. Mereka hidup bahagia menghasilkan keturunan yang cantik dan tampan. Kini mereka berdua sudah pensiun, menjalani hidup sebagai lansia bahagia meski berjauhan dengan tiga orang anak yang menjadi ASN menyebar di kabupaten lain. Lebaran kemarin datang membawa empat orang cucu yang lucu-lucu.

#cerita pendek 500 kata


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan