Langsung ke konten utama

Makhluk Resah

Ilustrasi, image source: Lektur.ID

Di hari ketiga Lebaran, ada tiga tagar X (twitter) trending topics, yaitu #lebaran, #menikah, dan #keluarga. Di momen #lebaran, pertanyaan 'kapan menikah' acap jadi "candaan" di saat #keluarga besar berkumpul. Candaan dalam tanda kutip karena sering sekali teksnya bercanda, tetapi konteksnya keluar dari maksud bercanda. Bagi cewek maupun cowok yang usianya sudah kategori terlambat menikah, ditanyai 'kapan menikah' sulit mereka terima sebagai candaan. Kecenderungan mereka menganggap itu bagian dari nyinyir, usil atau cemooh yang sengaja menjatuhkan.

Apa pun alasan kamu bertanya 'kapan menikah' (sekadar bercanda atau serius) bagi individu yang satu dengan yang lainnya bukanlah hal yang mudah untuk menerimanya. Bagi jomlo, dalam hati mereka pun bertanya, memangnya  kamu tidak punya bahan bercandaan lain selain mempertanyakan 'kapan menikah'? Belum menikah atau terlambat menikah, bagi jomlo ada alasan tersendiri. Mungkin sedang nyaman menapaki karier, belum menemukan calon pendamping yang sesuai kriteria pilihan atau memang tidak punya keinginan untuk menikah. Hak mereka.

Rasulullah SAW memberikan tuntunan kepada umatnya yang pengin mengikuti sunnahnya yaitu menikah, hendaklah mencari pasangan yang sekufu atau sederajat (tentang martabat). Kalau dalam falsafah orang Jawa berdasarkan kriteria bibit (garis keturunan), bobot (status sosial ekonomi) dan bebet (kepribadian dan pendidika). Jika dipertanyakan masihkah bibit, bebet, dan bobot relevan untuk memilih calon pasangan? Maka, jawabnya faktanya masih banyak diterapkan oleh sebagian masyarakat Jawa baik di kota besar, terutama di pedesaan.

Di masa kini ketika teknologi semakin berkembang, kaum muda perkotaan memiliki kesempatan untuk mengemukakan perspektif mengenai calon pasangan. Sehingga perlu ada penyelarasan pandangan dengan calon pasangan, keluarga kedua belah pihak, dan masyarakat. Di masa kini, chemistry lebih diutamakan sebagai pengganti bibit, bebet, dan bobot. Di samping chemistry, visi misi dan tujuan pernikahan menjadi hal penting pertimbangan dalam memantapkan pilihan calon pasangan, semua demi tujuan akhir berumah tangga, yaitu keluarga bahagia yang samawa.

Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang resah. Perasaan takut, cemas, khawatir, waswas merupakan tabiat dasar setiap manusia. Dalam momen kumpul #keluarga besar pada saat hari raya, dalam diri para jomlo akan berkecamuk perasaan-perasaan tersebut. Pertanyaan 'kapan menikah' walaupun dibungkus dengan candaan, bagi para jomlo lebih membuat awkward ketimbang membuka kaleng Khong Guan ternyata isinya rengginang. Insecure dan merasa malu akibat ditanyai 'kapan menikah' sulit disembunyikan dan berat bagi mereka untuk lapang dada menerima.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...