Langsung ke konten utama

Hasrat, Harkat, dan Martabat

ilustrasi, hasrat tersirat (image source: Pengkritik Sandiwara)

Nurhidayah riang betul bisa kembali terhubung dengan teman-temannya satu kost dan sesama aktivis kampus Bulaksumur setelah hampir 40 tahun terpisah. Itu berkat keberadaan kotak ajaib bernama facebook. Ruang tamu virtual itu mengingatkan Hidayah pada ruang tamu kost dan ruang diskusi di kampus.

Sejak mengakrabi facebook tahun 2010, koleksi temannya kian hari kian bertambah. Bertambah jauh jangkauan komunikasinya karena tempat tinggal teman-temannya terpencar di berbagai pelosok Nusantara, menekuni berbagai bidang profesi. Meski dipisahkan jarak, berkat facebook terasa demikian dekat.

Lewat messenger di facebook mereka saling bertukar nomor WhatsApp. Akhirnya tidak sekadar bertamu secara virtual di beranda facebook, komunikasi mereka lanjutkan via telepon. Mereka saling sapa dan mendengar nada ‘suara lansia’ atau via video call saling melihat wajah yang dibayangi keriput.

Setiap ada penambahan teman, setiap perkembangan terbaru perihal cerita masa lalu waktu kost dan kuliah dengan teman-temannya, jadi pemantik cerita Hidayah bersama suaminya Fauzan. Jadi selingan cerita selain menggunjingkan teman-teman mengajar dahulu dengan segala tingkah polahnya yang absurd.

Bagaimana pun jauh mereka berdua ngobrol ke hulu ke hilir, ujungnya kembali lagi ke masa betapa pusingnya mereka menghadapi Priambodo yang kepayang dengan istri seorang jurnalis. “Kalau ‘hasrat’ Priambodo mendapatkan balasan cinta begitu edan, wah bakal berabe,” kata Fauzan kepada istrinya.

“Iya, saya bersyukur, ketika dihadapkan pada realitas anak-anak kita menemukan jalan jodohnya secara wajar. Saya menyadari bahwa ‘hasrat’ yang menggebu di kalangan anak muda masa kini, bila tidak menemukan jalan tengah penyelesaian dengan baik, ‘harkat dan martabat’ jadi pertaruhan,” jawab Hidayah.

Mereka urung jadi Mak Comblang Priambodo berkat Priambodo bisa menerima pemahaman yang mereka diinjeksikan. Ardi paling getol menyadarkan sehingga Priambodo bisa move on. Walaupun upaya mereka menggiring pilihan pada guru yang lain tidak berhasil. Itulah jalan jodoh orang beda-beda.

Betapa jauh masa lalu itu tertinggal. Priambodo pindah ke Purwokerto lanjut S2, eh jodohnya ketemu. Ardi pindah ke Ibu Kota, meninggalkan pekerjaan sebagai guru. Kariernya naik cepat di Kanwil Depdikbud Provinsi DKI Jakarta memegang jabatan strategis. Kini pensiun bersama anak cucu di Bogor.

Tiga ibu guru yang dahulu diajukan Fauzan agar salah satunya dipilih Priambodo, pindah tugas ke Purworejo, Magelang, dan Temanggung. Menikah dan bahagia bersama keluarga masing-masing. Kabar terakhir lewat facebook, dua di antaranya belum sempat pensiun sudah lebih dahulu berpulang dimangsa covid.

Betapa tinggi ‘harkat dan martabat’ seseorang dengan menjadi guru. Karena itu, tidak boleh dicederai oleh ‘hasrat’ yang membabi buta atas nama cinta. Beruntungnya Priambodo bisa diberikan kesadaran akan tiga hal yang mengharumkan nama baik seseorang itu. Teman-temannya bahagia.

Kebahagiaan dan kesedihan yang menyeruak dari percakapan WhatsApp, tak urung memantik rasa haru di hati Hidayah. Semakin rajin dia membuka facebook berburu kabar. Teman masa kecil, teman sekolah di Boyolali, teman kuliah di Jogja, banyak yang hanya tinggal nama.

Di balik rasa suka dan euforia atas keberadaan facebook, tak ayal Hidayah sering mengernyitkan dahi. Begitu dia sampai dangau di tengah sawah, satu bar sinyal internet di hape hilang. Naik dia ke pinggang Gunung Pugung, semua bar sinyal internet hilang ditelan lebatnya pohon kopi. Dengan begitu, jangankan kabar dari seberang pulau, kabar dari pekon saja dia tidak bisa menerimanya. Sungguh ironis.


#cerita pendek 500 kata 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...