Langsung ke konten utama

Doa yang Mencekat

Di posisi ini anak ragil tertahan selama 20 jam (foto: Gmaps)

Sebelum salat Tarawih terakhir tadi, bakda salat Isya Ustaz Azwar naik podium memberi sambutan dan menyampaikan ucapan selamat menyambut Hari Raya Idulfitri serta haturkan permohonan maaf atas nama pengurus masjid. Lalu, dipimpinnya jemaah memanjatkan doa semoga satu tahun ke depan diberikan Allah SWT kesehatan dan panjang umur sehingga kembali bisa bertemu dengan Ramadan dan menjalankan ibadah puasa seperti tahun ini.

Doa yang mencekat, hatiku bergetar meng-aamiin-kannya. Terbayang di benak, tahun kemarin hanya dua pekan setelah Idulfitri, imam masjid kami, Ustaz Asrori Abu Hanif, berpulang. Kami kehilangan imam yang di lima waktu salat selalu kami simak bacaan Surahnya dan di acara-acara peringatan hari-hari besar Islam, pengajian, mengimami salat jenazah dan tahlil ia memimpin doa bersama ustaz Azwar Hasan atau yang lainnya.

Di sepanjang Ramadan tahun ini, kami tidak mendengar lantunan bacaan dari Pak Asrori Abu Hanif, sebagai pengganti beliau, putra sulungnya dua kali menjadi imam dan mengisi kultum. Sewaktu tahlil beliau dahulu, putra sulungnya itu yang membacakan doa. Itulah aplikasi doa anak salih untuk orang tuanya, lebih-lebih bila orang tua tersebut sudah wafat. Maka, doanya lebih afdal ketimbang dipimpin-doakan oleh ustaz atau orang lain.

Banyak buku tuntunan berdoa yang bisa jadi pedoman. Tetapi, selain doa “sapu jagad” yang saya lakukan adalah doa menyampaikan rasa terima kasih dan syukur ke Hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat sehat, nikmat iman, dan nikmat ibadah. Secara rutin. Saya menamainya “doa di antara dua Ramadan” rutin saya wiridkan bakda salat lima waktu, sepanjang tahun penuh dari Ramadan tahun ini hingga Ramadan tahun mendatang.

Doa yang baik lainnya yang saya rutin lakukan adalah memfatihahkan orang-orang yang saya kasihi, sementara mereka tidak mengetahui. Persis seperti “maling” barang milik orang lain tanpa mereka ketahui. Tetapi, wujudnya bukan “maling” barang berharga, melainkan “maling” mendoakan. Konon doa seperti itu pahalanya besar sekali. Tentu saja, saya juga mendoakan keselamatan anak-anak di perjalanan arus mudik dan arus balik nanti.

Pada postingan kemarin saya ceritakan anak ragil berangkat dari Gambir pukul 22:54 Sabtu malam, tiba di rumah pukul 22:47 Minggu malam. Terlambat selama itu karena terjebak macet di ruas tol Cikande—Serang selama 20 jam kendaraan stuck di satu titik tanpa ada pergerakan, jauh sebelum akses tol keluar Pelabuhan Merak. Persis kejadian “Brexit” (exit tol Brebes Timur) tahun 2016 yang jadi horor bak neraka. Jadi bikin orang kapok mudik.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...