Langsung ke konten utama

“Orang di Perantauan”


Masa pandemi Covid-19 (2020—2022) empat tahun lalu, terhadap orang yang terinfeksi virus corona diberi klasifikasi sesuai kondisi masing-masing. OTG (orang tanpa gejala) yaitu orang yang mungkin pernah tanpa sadar bersentuhan langsung dengan penderita Covid-19 sehingga tertular, ODP (orang dalam pengawasan), PDP (pasien dalam pengawasan), dan pasien positif.

Per tanggal 13 Juli 2020, Kementerian Kesehatan secara resmi mengganti istilah ODP menjadi Kontak Erat, PDP menjadi Kasus Suspek, dan pasien positif menjadi Kasus Konfirmasi. ODP yaitu orang yang pergi atau berasal dari tempat lain yang merupakan tempat penyebaran virus corona. Dan pernah kontak dengan pasien positif corona, harus isolasi mandiri.

Nah, saya secara iseng mempelesetkan ODP menjadi ‘Orang di Perantauan’ sebagai status di facebook, 3 April 2020. Saya menilai ada kesesuaian dengan status dua anak bujang kami yang ada di perantauan. Anak mbarep kerja di Surabaya dan anak ragil kuliah di Jogja. Ada 28 comment yang lucu-lucu. Ada yang menyatakan kaget disangkanya kena virus corona.

Kena corona sih, ya, kena. Saya dan istri juga kena di bulan Oktober 2020, termasuk yang kategori OTG. Anak ragil sempat isolasi mandiri (isoman) di tempat indekosnya. Bulan Ramadan Alhamdulillah ibu kost menanggung menu buka puasa dan makan sahur mereka. Anak mbarep sempat kena juga dan harus isoman. Tampaknya kami semua tergolong OTG.

Hari ini tadi oleh facebook diingatkan memori 4 years ago. Boleh juga, ya, facebook. Jadi ingat lagi bahwa saya pernah membikin status nyeleneh dan ngagetin kawan-kawan sehingga menyatakan kekagetan itu di kolom komentar. Pernah ada penyakit aneh dari Cina, menyebar seantero jagad dan jutaan nyawa tanggal dari jasad. Melahirkan banyak yatim dan/atau piatu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...