Cinta Salah Alamat
![]() |
Pesona keindahan Pantai Batu Tihang di Pekon Kota Karang, Kecamatan Pesisir Utara, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. (ANTARA/Riadi Gunawan) |
“Priambodo sepertinya kepayang betul sama ibu guru beranak satu itu,” kata Fauzan kepada Ardi.
“Ya, selama sekampus bareng kuliah dengannya, setahu saya Dodo nggak punya pacar. Nggak tahu waktu SMA di Cilacap sana, ia pernah pacaran apa belum,” timpal Ardi.
“Nah, biasanya orang
yang baru pertama jatuh cinta memang begitu. Tapi, sayangnya cintanya jatuh
kepada orang yang tidak tepat,” sambar Fauzan.
“Iya, Dodo sedang dijangkiti
penyakit ‘cinta salah alamat’ yang bikin badannya meriang siang malam. Dicari di
mana pun nggak akan ketemu obat yang mustajab selain cintanya yang jatuh itu
ada yang menyambutnya,” kilah Ardi.
Fauzan sudah memberikan
pancingan agar Priambodo memilih satu di antara tiga ibu guru yang disebutnya pecel
lele. Ia dan ayang beibnya Nurhidayah
bersedia jadi Mak Comblang dan men-support
moril dan materiil. Tapi, Priambodo sepertinya kadung kepincut kepada ibu guru yang disebutnya si casing langsing.
Nggak habis pikir sama
teman ngajarnya itu, Fauzan curhat kepadaku. “Suatu hal yang mustahil. Bagaimana
rumusnya pédékaté kepada orang yang sudah berstatus bini orang,” kata Fauzan membuka diskusi kepadaku. “Ya, begitulah
cinta, kalau sudah melekat tai kucing rasa coklat,” kataku mengutip Gombloh.
Mendengar aforisme yang aku kutip dari lagunya Gombloh, kontan Fauzan terpingkal-pingkal. “Betul juga.
Masygul hatiku melihat penderitaan teman satu itu. Tiba-tiba meriang bukan
karena sebab umumnya seperti gejala influenza,” keluh Fauzan. “Ya, berikan
pemahaman secara perlahan, tapi mengena,” hiburku.
Seperti sudah aku kicaukan kepada Fauzan, menggunakan jurus secrets
of power negotiating seperti apa pun, upaya Fauzan dan Nurhidayah menjadi
Mak Comblang dengan keberanian berkorban moril dan materiil, tidak akan berhasil
karena status bini orang itu otomatis
jadi fait accompli si casing langsing.
“Menurut Erich Fromm dalam ‘The Art of Loving’,
problem cinta yang dilakukan pertama kali ialah bagaimana mencintai, bukan
mencari yang dicintai. Orang berpikir mencintai itu sederhana, yang sulit ialah
mencari obyek yang tepat untuk dicintai. Cinta bukan sekadar perasaan suka
melainkan seperti seni, walaupun ada unsur bakat harus dipelajari.
Fauzan diam. Takzim mendengar uraian pembuka. Diskusi sambil ngopi secara informal kami jalani. Hari Minggu
pagi, debur ombak laut melambat pertanda akan mulai surut. “Maka rumus yang
ditawarkan Erich Fromm, cinta itu aktif bukan pasif. Bangunlah cinta bukan
jatuh cinta,” kataku melanjutkan.
“Nah, nah, nah…
repotnya kawan aku tuh ‘jatuh cinta’, sayangnya kepada orang yang salah alias
cinta salah alamat,” sambar Fauzan. “Itu dia problem yang kita diskusikan ini,”
kataku. Kami seruput lagi kopi, tak terasa hampir tandas. “Dodo harus kamu
tolong untuk belajar menemukan alamat yang tepat.”
“Mengapa harus
ditolong? Cinta itu kan orientasi watak, menentukan sikap pribadi seseorang
tertaut dengan dunia di luar dirinya dan tidak hanya menuju satu ‘obyek cinta.’
Jika Priambodo hanya mencintai ibu guru yang sudah jadi bini orang itu saja dan
tidak peduli pada pilihan lainnya, itu bukan cinta.”
“Apa, dong, kalau bukan
cinta,” kejar Fauzan penasaran pada apa yang barusan aku uraikan. “Itulah yang
disebut ‘egoisme yang diperluas.’ Cinta sebenarnya tidak tergantung obyek. Orang
yang mencintai hanya menunggu saat menemukan ‘obyek yang tepat’.” Fauzan manggut-manggut
sambil mengangkat gelas kopi. Air laut yang tadi surut, perlahan mulai pasang
lagi. Kami akhiri diskusi.
#cerita pendek 500 kata
Komentar
Posting Komentar