Kota Setara Jakarta
“Ke mana anak-anak kita itu. Ke mana anak-anak yang dilahirkan oleh seluruh bangsa ini dengan keringat, dengan luka, dengan darah dan kematian. Anak-anak yang dilahirkan oleh sejarah. Dengan air mata tiga setengah abad. Ke mana. Ke mana anak-anak itu. Siapa yang berani-berani menyembunyikan mereka. Siapa yang menculik mereka. Siapa yang mencuri dan membuang mereka. Anak-anak yang bernama kemerdekaan.
Yang bernama hak makhluk hidup dan harkat kemanusiaan. Yang benama
cinta kasih sesama. Yang bernama adilnya kesejahteraan. Yang bernama
keterbukaan dan kelapangan. Ke mana. Aku melihat anak-anak itu lari tunggang
langgang. Anak-anak itu diserbu oleh rasa takut yang mencekam. Aku melihat
anak-anak itu bertiarap di bawah semak-semak zaman. Anak-anak itu ngumpet di
balik kegelapan.
Kematian bukanlah tragedi. Kecuali kita curi dari Tuhan hak untuk
menentukannya. Kematian tidak untuk ditangisi. Tetapi, apa yang menyebabkan
kematian itulah yang harus diteliti. Nyawa badan, nyawa rohani, nyawa kesadaran.
Nyawa pikiran, nyawa hak untuk tentram. Nyawa untuk berbagi kesejahteraan. Nyawa
amanat untuk merawat keadilan. Nyawa, nyawa, nyawa. Nyawa itu dihembuskan oleh Tuhan.
Dielus-elus dan disayang-sayang. Bahkan nyawa setiap ekor coro. Bahkan nyawa
cacing yang menggeliat-geliat. Dijaga oleh Tuhan dalam tata kosmos
keseimbangannya. Tuhan sangat bersungguh-sungguh dalam mengurusi setiap tetes
embun yang Ia tampung di sehelai daun. Tuhan menyayangi sepenuh hati setiap
titik debu yang menempati persemayamannya di tengah ruang. Tapi, kita iseng sesama
manusia.
Kita tidak serius terhadap
nilai-nilai. Bahkan terhadap Tuhan pun kita bersikap setengah hati. Masyaallah. Apa
yang nancap di ubun-ubun kesadaran kita ini. Di akal kepala kita ini. Di dada
kita ini, sehingga sedemikian rajin kita tanam dendan dan kekerasan bukannya
kelembutan atau kasih sayang.”
Saya jadi kepikiran mengutip
narasi KiaiKanjeng dalam lagu berjudul “Ke
Mana Anak-anak Itu” di atas ketika melihat kerumunan manusia di titik
keberangkatan Bus Damri di Stasiun Tanjungkarang menuju Jabodetabek dan Bandung
pukul 20an tadi. Kerumunan manusia meruah, gabungan calon penumpang bus dan
para kerabat yang mengantar.
Yang jadi pertanyaan, seperti
judul lagu KiaiKanjeng di atas, adalah hendak ke mana orang-orang itu. Jawabnya
tentu saja hendak balik sehabis mudik. Ya, waktu musim mudik pergerakan mereka
menuju kampung disebut arus mudik, maka di musim balik pergerakan mereka
meninggalkan kampung disebut arus balik. Kembali ke tempat mereka bekerja.
Begitulah, karena hanya Jakarta
atau beberapa kota besar di sekitarnya (Bandung, Semarang, Jogja, Surabaya) yang
maju industrinya sehingga lapangan kerja terbuka lebar, maka ke kota-kota besar
itulah para pencari kerja berdatangan. Coba kalau ada 20 kota setara Jakarta,
tentu akan ada pilihan tempat mencari kerja selain Jakarta dan kota lainnya
itu.
Komentar
Posting Komentar