Langsung ke konten utama

Bukan Seperti Matematika

Salah satu spot foto ”Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan” yang terletak di kompleks Teras Malioboro 1. (foto: istimewa via serikatnews.com)

Betapa jauh Nurhidayah terpelanting dari kampung halamannya Boyolali, dari tempat kostnya Pogung, Jogja ke Pekon Pugung Penengahan, pesisir laut di Pulau Sumatra. Hanya dengan surat Kilat Khusus rindunya tersampaikan, memakan waktu berminggu-minggu baru mendapat balasan.

Betapa kerap dia memendam kangen pada teman-teman semasa SD dan SMP di Boyolali, SMA di Jalan Kapas Semaki, satu kost-kostan di Pogung barat Jalan Kaliurang, dan aktivis sekampus di Bulaksumur. Kangen akan berbagai kenangan yang sesekali menyelinap di dalam kepalanya.

Di SMA depan Gedung Pengadilan Negeri Yogyakarta itu, teman-temannya mengusili dia dengan menjodoh-jodohkannya dengan Taufik. “Taufik dan Hidayah,” canda teman-teman menggandeng-gandengkan nama mereka berdua. Si pemilik nama hanya senyam-senyum belaka.

Aku pun tak luput dari perbuatan iseng teman-teman. Suka sekali mereka menjodohkan aku dengan Zubaidah hanya karena nama kami ada kemiripan, sama berawalan huruf Z. Menjodoh-jodohkan itu hanyalah canda belaka, siapa jodoh kita sebenarnya tetaplah di Tangan Tuhan.

Hidayah terpental jauh ke pelosok Sumatra itu sepertinya atas campur Tangan Tuhan, atas takdir Yang Maha Kuasa. Dari Pogung ke Pugung sepertinya sebuah alur cerita yang tiada pernah dia bayangkan. Tiba-tiba saja dia tersadar kemudian, lalu membatin, “Apakah ini menjadi jalanku untuk menemukan jodoh?”

Seperti kata Tulus dalam lagunya, “Perjalanan membawamu bertemu denganku, ku bertemu kamu. Sepertimu yang kucari, konon aku juga seperti yang kau cari. Begitu banyak yang sama, latarmu dan latarku.” Fauzan guru dan Nurhidayah guru, kesamaan latar menjadi pembenar “kau aku jadi kita.”

Begitulah jodoh, sebuah misteri yang tak memiliki rumus karena bukan Ilmu Pasti, bukan seperti matematika yang begitu eksak. Tangen Cotangen, Sinus Cosinus. Bila kau kangen, pertanda bagus. Seperti persamaan garis lurus atau benda yang sama dan sebangun. Tidak. Tidak terlalu begitu.

Cinta membutuhkan klik di hati, zat kimia dalam tubuh mengarahkan pada sebuah chemistry. Nurhidayah begitu diperkenalkan teman mengajarnya kepada Fauzan, langsung klik di hati. Fauzan juga begitu. Zat kimia dalam tubuh mereka bersesuaian seperti latar profesi mereka yang sama-sama guru.

Coba tiada chemistry, sejauh apa pun memperjuangkannya susah sungguh menggapainya. “Kukira takkan ada kendala, kukira ini kan mudah,.. Entah apa maksud dunia tentang ujung cerita kita tak bersama,” senandung Tulus yang di awalnya bagus, tapi di akhirnya melahirkan sebuah ironi karena masing-masing melanjutkan perjalanan.

Kangen yang sesekali menyelinap di dalam kepalanya, diendapkannya hingga masa libur sekolah tiba. Hampir tiap libur semester Fauzan dan Nurhidayah membawa tiga anak mereka sowan Mbah Kakung dan Mbah Uti di Boyolali kemudian terus vakansi ke Jogja. Hampir semua destinasi wisata di Jogja mereka jelajahi.

Meski terpukau keindahan pedestrian Malioboro yang punya daya sihir untuk selalu “pulang ke kotamu”, tak satu pun anak mereka berminat kuliah di Jogja yang kata Joko Pinurbo terbuat dari rindu, pulang dan angkringan. Fauzan dan Nurhidayah getun, mengapa anak-anak mereka kok lemah mental.

Memasuki masa purna tugas, Fauzan dan Nurhidayah akan mengisi hari-hari dengan merawat kebun kopi di pinggang Gunung Pugung. Semasa anak-anak masih kecil-kecil, mereka alokasikan sebagian gaji untuk ditabung, kemudian dibelikan tanah dibangun rumah, mobil, kebun kopi dan sawah masing-masing sebidang.


#cerita pendek 500 kata

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...