Langsung ke konten utama

Lempuyangan—Dagen

Stasiun Lempuyangan (foto: kotajogja.com)

Jogja—Solo berjarak 60 Km. Jika menggunakan sepeda motor dengan kecepatan 60 Km/jam, maka dapat ditempuh dalam satu jam. Itu berdasar teori jarak dan kecepatan. Faktanya, bila dijalani akan memakan waktu antara 1,5—2 jam karena begitu keluar kota Jogja akan bertemu banyak perempatan bangjo yang abang (merah) lebih lama dibanding ijo. Itu yang membuat waktu tempuh tidak mutlak satu jam, tetapi bisa molor jadi 1,52 jam.

Libur Lebaran adalah masa paling crowded lalu lintas kendaraan di sekujur kota Jogja. Ramainya pemudik atau pelancong yang liburan ke kota Jogja, kendaraan yang tumplek niscaya akan membuat kemacetan di mana-mana. Yang jadi korban warga lokal yang akan pulang kerja seringkali tanpa menyana tiba-tiba disuruh putar ke arah jalan lain yang lebih jauh dari jarak yang biasa dilalui dari rumah ke kantor dan/atau sebaliknya.

Seorang karyawan yang akan pulang ke rumah di Jl. Kusbini dari kantor di Jl. Mataram, tidak habis pikir karena jalan yang ke arah stadion Kridosono ditutup. Dia terpaksa putar balik ke arah Jl. Pasarkembang, stasiun Tugu, mblasuk-mblasuk masuk jalan kecil, tetapi tetap macet di mana-mana. Alhasil, dia yang biasanya pukul 19 atau 20 sudah sampai rumah, pada malam “jahanam” itu dia baru sampai rumah pukul 22. Puas dia misuh-misuh di jalalan.

Ada lagi satu keluarga dari Surabaya liburan ke Jogja. Dari Surabaya naik KA turun stasiun Lempuyangan, hendak ke hotel di Jl. Dagen dengan taksi online kena macet selama 2 jam. Padahal, 2 jam itu bisa untuk menempuh Jogja—Solo pergi–pulang dengan asumsi seperti perhitungan di awal tulisan, yaitu pake sepeda motor dengan kecepatan 60 Km/jam. Ternyata waktu 2 jam itu habis sia-sia hanya untuk perjalanan Lempuyangan—Dagen. Asu tenan...

Padahal, Lempuyangan—Dagen itu berjarak kurang lebih 1,6 Km. Apabila diakses dengan berjalan kaki, hanya akan memakan waktu 22—27 menit (berdasarkan pemetaan di Google Maps, akan melewati Jl. Lempuyangan Tengah III, Jl. Tegal Lempuyangan, Jl. Hayam Wuruk, Jl. Mas Suharto. Setelah Jl/ Mas Suharto akan melewati bawah jembatan Krétég Kéwék, terus ke Jl. Mataram, sampai ketemu Jl. Malioboro. Nah, tinggal menyeberang saja ke Jl. Dagen).

Dulu waktu ngekos di Klitren Lor, saya sering ke Malioboro berjalan kaki. Ke selatan dahulu (ngidul) menyusuri Jl. Wahidin Sudirohusodo terus masuk arah Jl. Trimo, Jl. Wardani (depan SMPN 5 dekat stadion Kridosono), terus masuk Ledok Tukangan, Jl. Yos Sudarso, Jl. Abu Bakar Ali (keluar pas di samping Hotel Garuda, kini Grand Inna Malioboro Hotel). Berjalan kaki itu ketika sepeda onthel aquh sedang tidak ada di rumah karena ada yang meminjam pakai.

Dulu paling nyaman memang naik becak melewati rute jalan seperti di atas (istilahnya lewat Kota Baru). Atau naik colt kampus, tetapi mesti putar-putar dulu ke kampus UII di Jl. A.M. Sangaji RS. Panti Rapih masuk bundaran Bulak Sumur ke kampus UGM atau mblasuk ke arah RS. Sardjito. Baru kemudian ke arah Jl. Jendral Soedirman, Tugu Putih, belok masuk Jl. Mangkubumi (kini Jl. Margoutomo), masuk Jl. Malioboro. Sekaang ada Bentor (Becak Motor).

Kini, Klitren Lor—Malioboro atau terus masuk Dagen bisa diakses menggunakan taksi online. Rute jalan-jalan (peninggalan trayek idola colt kampus) tersebut di atas juga bisa dijelajahi dengan Trans Jogja, moda transportasi modern yang murah dan lumayan nyaman. Jika tidak ada kemacetan, maka jarak tempuh Klitren Lor—Malioboro 30 menit. Tapi, musim mudik Lebaran, libur sekolah, libur Natal dan Tahun Baru (nataru) tentu akan ada kemacetan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

JULI

Bulan Juli lingsir ke ujung cakrawala, banyak momen penting yang ditinggalkannya. 23 Juli 2025 Perpustakaan Nasional Press (Perpusnas Press) RI merayakan HUT ke-6 bareng dengan peringatan Hari Anak Nasional. Di negara kita, HAN tanggal itu. Hari Anak diselenggarakan berbeda-beda di berbagai tempat di seluruh dunia. Ada Hari Anak Internasional diperingati setiap tanggal 1 Juni. Ada pula Hari Anak Universal, diperingati setiap tanggal 20 November. Negara lain pun memiliki hari anak sendiri-sendiri. Ilustrasi, kalender meja (picture: IStock) Pemerintah melalui Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, akhirnya  menetapkan 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia. 13 tahun sastrawan dan seniman berjuang meraih pengakuan atau legalitas itu sejak kali pertama dideklarasikan di Pekanbaru. Adalah Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri yang menginisiasi deklarasi HPI bersama 40 sastrawan, seniman, dan budayawan dari berbagai daerah Indonesia. Deklarasi hari puisi Indonesia ...