Sehari-hari, #kacamata saya, melihat dengan jelas aktivitas driver ojol, seperti tidak kenal waktu, ngaspal mengukur jalan untuk mencari titik penjemputan (penumpang dan produk pesanan) lalu mengantar ke titik tujuan. Dengan gegas agar tidak mengecewakan dan diberi poin reward yang buruk.
"Waktu adalah uang." Semua orang niscaya pernah mendengar ungkapan ini dan paham maksudnya. Karena itu, saking berharganya waktu, terutama bagi driver ojol, setiap detik adalah denting notifikasi dari aplikasi dan denyut jemput-antar setiap orderan.
![]() |
Ilustrasi | gambar milik FTNews dari tangkap layar instagram. |
Maka, tak kenal waktu adalah pemburu waktu itu sendiri. Panas dan hujan adalah cuaca yang mau tidak-mau mesti diakrabi seperti sahabat. Denting notifikasi aplikasi, mungkin lebih berharga daripada azan magrib dari TOA masjid dekat rumah kediaman.
Ia bergegas mengegas motor meninggalkan suara bilal yang tak terlalu pandai melagukan azan, melaju melewati jalan samping masjid, lalu deru motornya hilang dibawa angin menjauh. Tinggal angan-angan dibawanya, berharap banyak orderan hingga malam.
Barangkali suara 'masa depan' lebih merdu dari suara bilal nengumandangkan azan sehingga tak sempat ia tunda sejenak waktu untuk 3 rakaat magrib, baik di rumah maupun berjemaah di masjid. Suara batinku menerka-nerka. Begitu keras perjuangan mereka.
***
Tubuh Affan Kurniawan tersungkur ke aspal ditabrak kendaraan taktis jenis barakuda milik Satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah (Sat-Brimob Polda) Metro Jaya. Tak hanya menyungkurkan, seperti belum puas bila tak melindasnya sekalian. Maka, tewaslah Affan.
Pemuda berusia 21 tahun kelahiran Tanjungkarang, 18 Juli 2004, itu meninggalkan ibu, abang, dan adik gadis. Meninggalkan amarah massa yang bergerak membabi buta melampiaskan kekesalan dengan brutal. Maka, luapan emosi memunculkan nyala api.
Terbakar mobil, porakporanda gedung, terjadi di beberapa tempat. Seperti api yang mudah sekali merambat menjilati apa pun, media sosial juga cepat mengabarkan berbagai kejadian, semua adalah buah kecamuk emosi anak negeri yang terakumulasi.
Affan mungkin bukan yang pertama dan bukan pula satu-satunya. Telah banyak driver ojol mati secara tragis di jalan oleh berbagai sebab. Ada yang dibegal lalu dibunuh oleh penumpangnya sendiri, ada yang karena insiden kecelakaan tunggal atau tabrakan.
Semua meninggalkan luka dan duka bagi keluarga. Tapi, kejadian yang menimpa Affan adalah tragedi memilukan yang menggerakkan simpati, empati, dan kolaborasi sesama driver ojol. Tanpa dikomandokan, semua bergerak atas nama solidaritas dan soliditas.
***
Ratusan driver ojol mengantarkan Affan ke tempat peristirahatan terakhir. Pak Anies Baswedan hadir sampai ke muka liang lahad. Pasha Ungu datang ke rumah duka menyampaikan belasungkawa. Pramono Anung, sebagai Gubernur DKI, sudah barang tentu.
Darah Affan menggoreskan catatan sejarah di aspal. Aspal yang ia akrabi, yang mengarahkan pacu dan laju motornya menuju titik temu, antarsesama ojol, antara ia dan penumpang atau pesanan. Aspal juga yang memulangkannya ke keabadian paripurna.
Rasa dukacita, simpati, dan empati berdatangan dari mana-mana. Atas nama kemanusiaan, berlarik-larik puisi dituliskan di media sosial, facebook, WhatsApp, Threads, X, Instagram, dll. Ada juga ajakan kolaborasi menulis puisi untuk kemudian diterbitkan bukunya.
Ini gerakan sama seperti ketika Tempo dikirimi paket kepala babi tanpa telinga disusul bangkai tikus tanpa kepala. Tagar #pedulitempo dengan cepat menyebar dan menghimpun ratusan nama pemuisi komitmen mendukung, ratusan puisi ditulis dan dikumpulkan.
Sama juga seperti ketika laut di Tangerang dipagari. Even lomba menulis puisi tema "pagar laut" digelar. Puisi hanyalah suara yang jauh sampai, dibaca atau didengar, lalu dilupakan. Karena "waktu adalah uang." Ada yang lebih urgen untuk diselesaikan demi uang.
Komentar
Posting Komentar