Langsung ke konten utama

Agustus Datang

Bulan Agustus tiba lagi, pada pelataran rumah akan dikibarkan bendera merah putih serta umbul-umbul dengan warna sama, tapi ada yang dipadukan corak berbeda-beda. Saat jogging pagi tadi, belum satu pun rumah di Blok O, N, J, K, dan L yang mengibarkan bendera kebangsaan.

Begitupun di Blok R, S. T, U, V. Warga Blok P di gang bawah agak laen. Saat pagi saya hendak berangkat jogging, sederet rumah sebelah timur tampak sudah semarak oleh bendera dan umbul-umbul. Di gang kami, baru satu rumah yang sepagian memasangnya.

Biasanya saya yang paling dahulu memasang. Kali ini kedahuluan tetangga. Yo, wes lah rapopo. Daripada belum ada sama sekali yang masang. Masalahnya dari jalan besar depan masjid, gang kami tertangkap mata lebih jelas dibanding gang belakang kami.

Dahulu, baru memulai menempati rumah, tatkala datang bulan Agustus, Pak RT mengimbau agar memasang bendera, saya langsung hunting ke Pasar Tengah. Masuk toko yang menjual bendera. Tentu toko milik orang Tionghoa. Tapi, agak laen.

Saya perhatikan, sepertinya itu tipe Tionghoa yang masuk golongan miskin. Yang mereka jual selain bendera ada kopi. Dagangan yang alakadar, sekadar untuk tunggu-tungguan ketimbang tengak-tenguk katik gawean. Niscaya akan ada yang datang belanja.

Walakin, bendera yang saya beli di situ dulu, di awal reformasi kala itu, warnanya sudah pudar. Semenjak tahun lalu sudah dikibarkan bendera baru. Tetapi, dikibarkan siang malam selama satu bulan sepanjang Agustus, tentu warnanya akan cepat pudar pula.

Sejak Jokowi jadi presiden tahun 2014 lah ada aturan mengibarkan bendera selama satu bulan penuh pada bulan Agustus. Dan, tampaknya akan terus berlaku seperti itu. Baik juga sih, terutama di Daerah Khusus Jakarta, wajah kota metropolitan itu kelihatan indah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...