Langsung ke konten utama

Pancer Door

Pantai Pancer Door, di Pacitan, terus dibenahi jadi sentra kuliner tepi pantai seperti ala-ala pantai Legian di Bali. Menu yang ditawarkn beragam khas Jawa Timuran, seperti ketupat tahu, sgpc (sego pecel) madiun, serta serbaneka yang dibakar-bakar.

Minuman pendamping tidak ketinggalan degan dan cendol dawet seperti di lagu koplo itu. Ada memang yang ala-ala kafe, seperti fizza dan roti bakar untuk mengakomodasi selera milenial dan Gen Z. Jika tak begitu, maka akan sepi pengunjung. Mubazir jadinya.

Sentra kuliner Pancer Door

Di sini ada jogging track yang asri terlindung pohon pinus, bisa dibuat tempat foto syantik bareng besti, bahkan prewed. Ada tempat penangkaran penyu juga. Ada masjid apung di muara Sungai Grindulu yang dekat banget dengan bibir Samudra Hindia.

Masjid ini pernah hanyut ke laut. Seperti yang sudah saya ceritakan pada postingan kemarin, kalau hujan deras di hulu, sungai Grindulu ini akan membanjir-bandangkan apa pun yang diamuknya, diantarkan menuju ke laut lepas lalu hilang ditelan ombak.

Masjid apung di Sungai Grindulu

Nah, di saat banjir bandang seperti itu, masjid apung terlepas dari tali ikatannya dan hanyut ke laut lepas. Terang saja, yang namanya banjir bandang atau air bah, kayu gelondongan saja bisa terhanyut apalagi masjid yang hanya diapungkan di bantaran sungai.

Pada momen peringatan hari kemerdekaan ini, di sepanjang pantai dikibarkan bendera merah putih, tampak melambai-lambai ditiup angin. Agar HUT 80 RI jadi lebih meriah, akan ada panggung gembira di Pancer Door, koploan. Musik pantura Jawa Timuran.

Penyu di dalam kolam penangkaran

Di saat musim bertelur, penyu betina akan kembali ke pantai tempat saat dulu dia dilahirkan (menetas dari telur) untuk bertelur. Hanya dengan instingnya, penyu betina akan mudah menemukan pantai yang tepat meskipun sudah pergi selama 30 tahun lebih.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...