Langsung ke konten utama

Kota Paling Kesepian

Kota "paling kesepian" ini ternyata ramai saja pengunjungnya. Minggu malam suasananya seperti malam Minggu. Kenapa begitu? Gaes, sejauh pengetahuan saya, sejak zaman tahun 1980-an, pada malam Minggu lah orang keluar kandang, berkencan.

Toko buku Gramedia di Jalan Jend. Soedirman ramai pengunjung, toko Gardena di Jalan Solo, toko Ramai di Jalan Malioboro atau toko Samijaya yang demikian legendaris pun ramai pada malam Minggu. Hanya itu tempat-tempat yang paling happening pada saat itu.

Terhanyut nostalgi

Tapi, Minggu malam kali ini kekecualian. Libur cuti bersama 18 Agustus 2025 dimanfaatkan orang untuk datang ke Jogja. Nuansanya kental terasa. Orang-orang di Malioboro adalah pendatang, termasuk yang ngamen dan bekerja dadakan jadi juru foto.

Setelah mulai ramai dibangun mal dengan Matahari Departemen Store dan Supermarket jadi jenama di garda depan, toko-toko yang saya sebutkan di atas perlahan meredup. Samijaya hilang dari Malioboro, hanya tinggal legenda sebagai toko terbesar saat itu.

Saat ini orang lebih senang beli baju di TikTok, bayar di rumah alias COD atau di marketplace yang paling akrab disebut 'toko oren' dan 'toko ijo'. Departemen Store lesu darah, satu per satu gerai Matahari tutup. Yang bertahan ngos-ngosan melawan perubahan.

Toko Dinasty juga tutup, entah kenapa dan sejak kapan. Ini salah satu toko jujugan bila hendak belanja busana selain Ramayana dan Matahari. Satu gerai Ramayana juga tutup, Matahari sudah tak tampak lagi sinarnya. Kolaps seperti gerai di kota lainnya.

Kota paling kesepian, malam ini, saya saksikan ramai pengunjung. Bangku-bangku pedestrian Malioboro nyaris tak ada yang kosong. Street fotografi gencar menjajakan jasa foto kepada orang-orang yang lewat. Pengamen menyasar orang-orang yang duduk. Aneh.

Kenapa Jogja disebut kota paling kesepian? Cari saja jawabannya di Kompas, 30 Juli 2025 dan tulisan M. Zaid Wahyudi di Kompas, 12 Agustus 2025. Di sana dipaparkan apa faktor penyebab masyarakat Jogja yang terkenal guyub ternyata bisa terjadi kesepian. 

Yang saya rasakan, kota Jogja ngangenin, membuat ingin selalu "pulang ke kotamu" seperti kata Katon Bagaskara di lagu "Yogyakarta" yang legendaris itu. Apalagi melihat pohon-pohon asam di Jl. Malioboro dihiasi buah yang terjembak-jembak ditiup angin.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...