Langsung ke konten utama

Kimiawi Kesehatan

Di facebook "Keluarga Alumnus SMA Moeha" Jogja, tempat saya bersekolah dahulu, salah satu alumnus dengan nama akun Takim Sehat Ceria, memposting foto bersama Bapak Cokro, guru mapel Kimia. Subhanallah, kendati kelihatan sudah sepuh, tapi aura sehat terpancar di wajah beliau yang cerah.

Kimia kesehatan seseorang dipengaruhi banyak hal. Yang utama adalah faktor pikiran, kemudian disusun unsur-unsur yang ada di lapisan menu makan yang dikonsumsi. Bergizi seimbang, istilahnya. Berikutnya adalah suasana hati, mood serta hormon bahagia.

Alumnus SMA Moeha bersama Bapak Cokro (kemeja batik merah) dalam suatu acara pengajian alumnus. (foto: fb takim sehat ceria)

Tampaknya kimia kesehatan Pak Cokro bagus sekali. Tentu bukan karena beliau guru kimia, melainkan itu kemistri dari banyak hal yang ada di sekitaran beliau. Keluarga, jiran tetangga, kolega, serta masyarakat kebanyakan yang dihubungkan jejaring komunitas.

Saya ingat-ingat lupa, beliau asli dari Lahat, Sumatra Selatan. Jadi semacam "ordal" bagi teman-teman dari Lahat dan sekitarnya untuk lebih gampang lolos tes, di saat itu. Memiliki privelege memang penting bagi seseorang agar mulus meraih suatu yang diinginkan.

Saya juga agak sulit menerka kira-kira berapa usia Pak Cokro saat beliau mengajar kami tahun 1980an. Jika saat itu usia beliau 30-35an, maka sekarang usia beliau melampaui 70 sangat masuk akal. Saya saja, alhamdulillah sudah melampaui usia Nabi SAW.

Grup facebook yang menghimpun teman sekolah atau kampus, disadari banyak orang kegunaannya begitu signifikan. Akan muncul remah-remah kabar bahagia bersanding dengan kabar duka di sana. Rasa kangen dengan teman lama jadi gampang terobati.

Jadi, bisa dikatakan facebook adalah semacam unsur kimia yang bisa menghadirkan dualitas pilihan. Buat dijadikan tempat bersenang-senang, bisa. Tempat membuang "sampah toxic" juga bisa. Risikonya akan banyak yang tidak menyukainya, bahkan membenci.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...