Langsung ke konten utama

Tiang Uang

Bulan Agustus, saat siapa pun dia yang merasa sebagai warga negara yang baik, maka "wajib" baginya memasang bendera merah putih di hadapan rumah, sebagai ekspresi dalam rangka memperingati HUT ke-80 kemerdekaan RI. Lantas, apa yang mesti disiapkan? Tentu saja bambu untuk tiang bendera.

Ruas bambu yang besarnya berdiameter 2,5 hingga 3,5 cm dan panjang 4 hingga 5 meter, akan dibawa penjualnya keliling komplek perumahan. Harga jual ditawarkan Rp.15 ribu. Hanya bambu sebagai bakal tiang, jarang ada yang menjual benderanya sekalian.

Penjual bendera biasanya menggelar dagangan di pinggir jalan besar. Tetapi, sebagaimana kegaliban, tentu ada calon pembeli yang menawar. Ya, mereka yang terbiasa tawar menawar dalam transaksi jual beli, sepertinya mutlak untuk mengajukan tawaran.

Begitupun saya, dan tawaran saya Rp.10 ribu per batang dikabulkan. Dua batang bambu saya beli,  untuk mengganti tiang bendera tahun lalu yang keropos dimakan bubuk dan akhirnya patah. Risiko bagi bambu muda begitu, rentan dimangsa bubuk.

Kebutuhan akan uang, membuat si penjual tetap saja menebang bambu yang belum tua benar. Kebutuhan akan tiang bendera, si pembeli tetap saja membayar bambu muda atau setengah tua. Hukum causa prima. Sebab ada kebutuhan, akibatnya ada pemenuhan.

Tiang uang dan tiang bendera, begitu narasinya. Selalu akan tercipta bisnis musiman, sesuai tren yang terjadi seturut momen yang menyertainya. Seperti musim pasang bendera saat agustusan. Dan musim takjil di bulan Ramadan pun, lumrah kiranya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...