Langsung ke konten utama

80 Tahun Merdeka, Hanya Wajah

Ini wacana apakah sekadar tahun ini doang apa bakal seterusnya, tanggal 18/8 ditetapkan jadi hari (yang) diliburkan. Narasinya untuk memberikan kesempatan pada warga masyarakat menghidupkan kegiatan lomba dalam rangka memeriahkan maupun menyemarakkan peringatan HUT kemerdekaan RI.

Pengumuman perihal tanggal 18/8/2025 itu sebagai hari yang diliburkan, disampaikan Juri Ardiantoro, Wamensesneg RI, yang saya tonton di akun TikTok metro_tv dan menyebar berantai di media whatsapp warga. Apakah ini semacam cuti bersama, galibnya?

Juri Ardiantoro, Wamensesneg RI

Memang iya, kegiatan lomba di tingkat RT sedekat pengamatan saya, senantiasa diadakan pada tenggat waktu yang mepet dengan hari-H peringatan HUT kemerdekaan, misalnya di H-1 atau di hari-H, agak jarang di hari sesudahnya. Tersisa lelahnya doang.

Karena di hari sesudahnya, aktivitas kembali berjalan normal seperti sedia kala. Yang sekolah atau bekerja akan kembali kepada rutinitasnya. Demikian juga jual beli di pasar-pasar, mal, dan perladangan di gunung, pertanian di lembah, nelayan di tengah lautan luas.

Tidak ada yang benar-benar menghayati HUT RI dengan santai berleha-leha sekalipun momen itu ditetapkan sebagai tanggal yang diliburkan. Bagi rakyat kecil, makna merdeka sebenarnya adalah harga pangan murah. Ekspektasinya seperti itu.

Tapi, kenyataan selalu bertolak belakang dengan ekspektasi yang dilamunkan. Serba mahal, serba sulit, serba ruwet, serba tak mungkin, dan serba serbi lainnya. 80 tahun usia kemerdekaan hanya wajah. Tubuhnya masih terjajah, kaki terbelenggu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...