Langsung ke konten utama

Rasa Syukur

Ini oleh-oleh jogging pagi tadi, di pertigaan jalan berhenti scoopy warna abu-abu, si pengendara, seorang cewek, pelajar kelas IX SMP, bercakap-cakap dengan jarak 100 meter kepada seorang nenek, yang menggendong keranjang sayuran di punggungnya.

Setelah percakapan dirasa selesai, cewek pelajar itu menarik gas melajukan motor dengan muka manyun, mulut cemberut. Sang nenek seperti mengemukakan sesuatu kepada saya, tetapi tidak begitu saya dengar karena berjarak jauh. Saya pun melangkah mendekat.

Ilustrasi | pict: Pinterest

Saya mencari penegasan, apa yang nenek katakan tadi. "Itu cucu saya, selama ini dalam pengasuhan saya," katanya. Saya bertanya, "Orang tuanya mana?" "Ibunya kerja di Tangerang, ayahnya di Semarang, ceraian." Oh, anak korban divorced, saya membatin.

"Itu tadi dia manyun karena nggak saya kasih duit. Biasanya saya kasih kalau nggak 5 ribu, 10 ribu," jelas nenek. Saya pun jadi mafhum kenapa si cewek SMP berseragam baju olahraga itu tadi manyun. Pasalnya, tak diberi nenek sangu. Mungkin memang tak ada.

"Alhamdulillah dia udah kelas 3. Pagi ini nggak saya kasih duit karena ini sedang nyari duit," lanjut nenek menganalogikan keranjang sayuran di punggungnya bahwa dia sedang cari duit dengan berjualan sayur keliling. "Hendaknya si cucu kudu maklum," pikirnya.

Di mulut gang, saya dan nenek berpisah langkah. Dia masuk ke dalam gang, saya terus lurus jalan ke atas. Sambil mengayun langkah, pikiran di dalam kepala saya berpusaran, tak bisa menyimpulkan nenek salah atau si cewek itu yang salah. Dan, salahnya di mana?

Tapi, mengaitkannya dengan judul tulisan ini, "rasa syukur", apa si cewek pelajar itu kurang rasa syukur, sudah diopenin neneknya dengan kasih sayang dan sangu secukupnya, ketika tak ada uang untuk sangu, dia manyun. Mestinya, pikir saya, mbok sabar gitu.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...