Langsung ke konten utama

Sekolah Rakyat

Gedung Dinas Sosial milik Pemprov Jawa Timur ini semula adalah UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Magetan di Pacitan, tempat perawatan lansia. Saat ini dialihfungsikan menjadi UPT Sekolah Rakyat Menengah Atas 23, Pacitan.

Lokasinya di Jalan H. Samanhudi (belakang KPPN). Dahulu setiap subuh tiga atau empat orang lansia menyapu guguran daun kembang tanjung di jalan depan panti, sekali-sekali perempuan jompo itu menyapa orang yang lewat pulang dari masjid.

Di tempat ini siswa/siswi Sekolah Rakyat Menengah Atas 23, Pacitan, menjalani aktivitas.

Saya, orang yang juga disapa, saat lewat pulang dari subuhan di Masjid Agung Darul Falah (MADF) dekat alun-alun Pacitan. Kadang saya memutari alun-alun dulu, pulang tak melewati jalan itu, tapi Jl. S. Parman.

Kebiasaan subuh di masjid dekat rumah Perum BKP Blok P, saya bawa ke mana pun pergi. Mulang tiyuh ke Ranau atau mudik ke Pacitan, bahkan nginap di hotel di seputaran Malioboro pun subuh ke masjid.

Di Dagen ada dua masjid di dalam gang. Satu milik Yayasan Al-Maarif yang NU dan satu milik jemaah Muhammadiyah. Saya sudah coba berjemaah salat di kedua-duanya setiap nginap di hotel Jalan Dagen.

Siswa-siswi Sekolah Rakyat itu menjalani aktivitas dengan terprogram dan tertib. Saat tiba jam makan, mereka kumpul di ruang makan. Saat azan terdengar di TOA MADF, mereka dikomando gegas ke masjid.

Berangkat ke masjid berbaris rapi. Siswa lengkap dengan kopiah, siswi sudah mengenakan telekung atau mukena. Begitu juga setelah salat, saat pulang mereka berbaris rapi dan berjalan dengan tertib.

Mereka tinggal di asrama yang dulu ditempati para lansia yang dipindahkan ke tempat lain. Di situlah saya mengamati secara dekat apa dan bagaimana itu sekolah rakyat yang dimunculkan pemerintahan PS.

Tadinya agak bingung juga memahami apa maksud Presiden Prabowo Subianto (PS) kok menghidupkan kembali sekolah rakyat yang sudah terkubur lebih dari setengah abad. Sebuah absurditas kebijakan.

Dengan mengamati secara dekat sekolah rakyat di Pacitan itu, saya jadi ngeh. Kendati yang saya lihat aktivitas spiritual berkaitan religiusitas, sementara kegiatan intelektualitas mereka tak bisa saya amati.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...