Langsung ke konten utama

Pentigraf #1 (bagian 3)

Sungguh panjang perjalanan buku ini mewujud menjadi suatu kenyataan. Dua kali sudah saya tulis di blog ini. Ini kali ketiga dituliskan, merupakan pemuncak. Hasil layout pdf  dikirim tgl. 17/5, naskah saya ada di hal 411. Dikirim ulang tgl. 21/6 minta agar dicek, hasil layout tetap belaka. Tak ada perubahan.

Sempat berpikir, apakah hanya akan berupa pdf, tapi saya tetap husnudzon dan sabar menanti penjelasan perihal buku fisik. Pada 1/8 dikabarkan bahwa buku pentigraf ini dapat anugerah MURI tertanggal 29/7. Wah, ikut bungah, ternyata progres berjalan lancar.

Buku antologi 1.234 pentigraf

Tanggal 7/8 pukul 10.48 sertifikat dikirimkan lewat wapri. Nah, tambah bungah lagi, ternyata perjalanan panjang buku ini telah sampai pada titik akhir. Para penulis diminta menunggu kiriman buku tiba alamat masing-masing. 12/8 saya berangkat ke Jawa Timur.

Dengan begitu, saat buku diantar kurir, tidak akan saya sambut sendiri. Benar saja, 20/8 pukul 08.58 Kang Paket mengirim WA akan mengantar paket. Setelah tiba di depan pagar, kurir menelepon, saya pesankan agar dititipkan ke rumah tetangga depan.

Pulang dari Jawa Selasa subuh sampai di pool bus. Siang buku diserahkan tetangga depan, langsung saya buka dan memeriksanya. Buku setebal 3,5 Cm ini memang tidak mengecewakan. Layout sempurna, melalui editing yang serius, bukan setengah hati.

Pantes prosesnya panjang dan lama. Menghimpun 1,234 naskah cerita pendek tiga paragraf dari lebih 250 penulis. Program nulis bareng pentigraf ini melibatkan 50 orang PJ (penanggung jawab, yaitu 1 ketua PJ dan dibantu 49 PJ) yang bekerja serius.

Serius dalam arti aktif menyampaikan informasi tentang sejauh apa progress buku dan memberikan dorongan semangat bagi peserta yang lelet segera mengirim naskah untuk diedit, dan menagih transfer duit untuk biaya produksi buku (cetak dan ongkir).

Lumayanlah buat tambah pengalaman kepenulisan, memiliki antologi yang diganjar MURI. Dan, sekadar wara-wara, sepertinya ini buku bukan satu-satunya yang diganjar MURI yang akan saya dapatkan, ada satu even nulis puisi yang diikuti banyak penulis.

Tunggu saja ceritanya, nanti, mendekati akhir tahun.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...