Langsung ke konten utama

Senyum di Balik Masker

Di ruang publik, apakah itu bandara, mungkin di stasiun kereta, mal, jalanan, dan di dalam moda transportasi, masih banyak orang mengenakan masker. Lebih banyak cewek, mungkin sengaja agar sesuatu yang pengin mereka sembunyikan akan jadi tersembunyi. Atau agar wajahnya sekadar tersamar.

Dipikir-pikir, amat sayang kan bila wajah cantik dan senyum menawan mereka disembunyikan di balik masker. Dan, yang bikin bingung ialah ketika mereka menyapa, orang yang disapa akan bertanya-tanya, siapa itu tadi yang menyapa? Karena mukanya yang tertutup masker. Nah, jadi mbingungi begitu kan.

Ekspresi senyum di balik masker | picture: Shutterstock | Liputan6.com |

Tadi, sepulang dari membeli kue buat teman ngopi, saya berpapasan dengan dua orang berboncengan. Si sopir di depan mengelakson sambil tersenyum. Saya membalas senyumnya dengan senyum juga kendati saya tidak tahu siapa dia karena wajahnya tertutup masker. Berarti ia kenal atau paham dengan saya.

'Senyum di balik masker' seperti yang diberikan si empunya wajah kepada saya tadi pagi, niscaya kerap dialami siapa pun baik tatkala bertemu di jalan, mal, pasar atau di tempat keramaian. Niscaya yang diberi 'senyum di balik masker' akan tanda tanya siapakah gerangan. Pastilah akan disuruhnya buka masker.

Ya, salah satu protokol kesehatan di zaman Covid-19, itu sepertinya memiliki kegunaan begitu signifikan. Bisa melindungi diri dari kemungkinan tertular virus dari orang yang sedang flu, misalnya. Atau debu di jalanan. Dan, sengaja untuk membuat orang menjadi pangling dan ber-takon-takon, "woi, siapa elo, woi."

Liputan6, 15 Oktober 2020, menulis "Fakta, Orang Dapat Mengetahui Ekspresi Senyum Meski Pakai Masker." Bisa begitu karena kendati mulut tertutup masker, tapi mata tidak bisa menutup 'bahasa tubuh' yang ditampakkannya. Kontak mata itulah yang akan mengubah segalanya. Istilahnya "mata yang bicara."


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...