Langsung ke konten utama

Zaman QR Code [1]

Teringat 2 tahun silam, saat akan menghadiri UWRF di Ubud, Bali, tanggal 18--22 Oktober 2023 mesti ada dokumen yang dikirim ke Sekretariat Banpem Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sibuk menyiapkan item-itemnya.

Pengirimannya melalui dua cara. Satu, melalui pos berupa dokumen print out dalam format word doc. Dua, melalui google drive berupa dokumen dalam format pdf. Setelah waktu berlalu, email saya penuh.

Ilustrasi scan barcode | gambar: merdeka.com

Email penuh itu baru saya sadar, rupanya file-file itu belum dilenyapkan. Aksi bersih-bersih google drive saya lakukan, ada file yang langsung di-deleted ada file yang saya download dan dipindahkan ke laptop.

Atas keterbatasan ilmu pengetahuan saya terhadap teknologi kekinian, saya memberdayakan teman baik istri untuk membantu menyelesaikan semuanya itu. Walakin, beres dan diproses oleh Banpem Dirjenbud.

Waktunya, kira-kira sama seperti sekarang ini, bulan Agustus hingga September, semua berkasnya harus sudah masuk ke Sekretariat Dirjenbud untuk di-acc dan dana bantuan bisa dicairkan dan ditransferkan.

Sahih, kita ini berada di era QR Code. Apa-apa bisa diselesaikan dengan memindai barcode. Kedai kopi jenama tersohor telah menganut cashless. Sesiapa beli kopi, bayar di kasir cukup menggunakan ponsel.

Hanya orang yang punya dompet digital yang boleh membeli kopi di situ. Kalaupun tidak punya dompet digital, paling tidak mesti punya aplikasi m-banking atau kartu debit/kredit. Intinya, punya duit di bank.

Hari ini saya dipusingkan lamun pertanyaan, gimana cara mengunggah file melalui barcode. Lalu, ingatan tertuju teman baik istri yang 2 tahun lalu membantu. Kepikiran perlu punya teman baik itu saat kepentok. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...