Langsung ke konten utama

Malu kepada Diri Sendiri

Dari sekian tanda Indonesia tidak baik-baik saja, salah satunya adalah bendera merah putih lelah setelah dikibarkan selama sebulan penuh. Tanda-tanda lelah itu, robek sudut-sudutnya karena dibanting-bantingkan angin, terpanggang terik, dan digerujug hujan di luar musim. Hujan kesasar 😃😃.

Artinya, tahun depan harus beli bendera baru. Malu rasanya, bila masih berniat mengibarkan bendera robek ini. Bukan malu kepada tetangga apalagi negara yang, bisanya cuma negik rakyat dengan pajak yang dinaikkan berlipat-lipat dan menyasar semua sektor, melainkan malu kepada diri sendiri.

Malu kepada diri sendiri, saya pikir, adalah bentuk rasa malu tertinggi. Kedudukannya satu tingkat di bawah rasa malu kepada Robbil izzati (Tuhan yang memunyai keperkasaan). Malu kepada diri sendiri mendorong seseorang untuk menjaga akhlak baik, meningkatkan amal, dan menjauhi perbuatan dosa.

Dalam hal bendera yang robek di sudut-sudutnya, tema tulisan hari ini, maka tidak ada jalan lain selain memuseumkannya. Rasanya tidak pantas lagi untuk dikibarkan tahun depan. Umbul-umbul yang dibagi ke warga se-RT pun warna sablon Burung Garuda dan tulisan Indonesia mulai pudar dijilati cuaca.

"Yah, manusia saja bisa rusak, apatah lagi barang yang notabene adalah bikinan manusia," seloroh tetangga. Benar juga, sih. Apalagi saat bikin umbul-umbul untuk dijual di awal Agustus, pikiran kotor manusia bekerja dengan cerdas. Yaitu menggunakan bahan-bahan sesederhana dan semurah mungkin.

Tujuannya apa? Agar dengan modal kecil, tapi dapat untung gede. Politik dagang memang begitu. Dosen Manajemen Pemasaran pun mengajarkan hal itu. Dengan production cost yang rendah, harga jual yang dipatok setinggi-tingginya, maka profit yang didapat akan maksimal. Mendapat cuan berlimpah.

Baiklah, memasuki bulan berakhiran BER (september, oktober, november, dan desember) semoga frasa BER memberi makna BERkah, BERhasil, BERjaya, BERseri selamanya untuk negeri kita Indonesia tercinta ini. Jauh dari BERbagai friksi, gesekan, dan keluh kesal yang berpotensi mengganggu mental anak bangsa.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...