Langsung ke konten utama

Pinggir Kota

Libur maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh hati Jumat kemarin bersambung ke weekend sehingga pekerja bisa istirahat selama 3 hari. Tetapi, macam anak ragil, libur di akhir pekan tidak benar-benar dimanfaatkannya untuk istirahat, nongki jadi semacam pekerjaan freelance (sampingan) baginya.

Malam Minggu seperti ini tadi, ibunya hanya bisa kirim pesan percakapan via whatsapp, mengabarkan kakaknya sedang ada di Depok. Sudah ada semacam kesepakatan di antara mereka, di malam Senin baru bisa ngobrol via video call. Kendati malam Senin itu ia ada lemburan pun, tetap saja bisa disambi ngobrol dengan ibunya. Karena cara kerjanya super santuy.

Ilustrasi "pinggir kota" | foto: iStock

Setelah alamat kakaknya di Depok itu di-share-kan kepadanya, ia langsung mengecek via google maps, ternyata hanya berjarak lebih kurang 12 kilometer dari kantornya. Tapi, 12 km di Jakarta, menurutnya, tidak bisa dianggap dekat. Bila kena macet dan jalan yang dilalui bercabang-cabang, ujung-ujungnya jauh juga. Sangat jauh beda dengan 12 km di luar Jakarta.

Setelah diperhatikannya dengan cara seksama dan dalam tempo yang dirunutkan dengan titik maps di google, rupanya tempatnya cenderung dekat banget dengan resto Sego Tempong milik Vicky Nitinegoro yang pernah kami datangi dengan menumpang grab dari Kemang dan jauhnya begitu kentara, memakan waktu setengah jam lebih. Pulangnya lapar maning.

Nah, jadi lebih cetho, ternyata Ciganjur, Jagakarsa itu agak lebih dekat ke arah Depok. Kota Jakarta Selatan pinggiran itu mengiris ke arah Depok di arah selatan. Maka, pekerja datang dari Depok di pagi hari dan pulang di malam hari, sebagai penglaju, menyebar ke penjuru Jakarta dan masuk gedung-gedung jangkung menyandang identitas sebagai karyawan kantoran.

Pinggiran kota seperti Depok itu yang lebih cepat berkembang. Setiap jengkal tanah begitu berharga. Tak ada ruang hampa di kota besar. Bangunan liar mudah tumbuh bak jamur di musim hujan. Trotoar atau di atas got, sasaran empuk tempat berdagang dengan gerobak atau sekalian mendirikan warung tenda. Mereka itu jadi musuh bebuyutan Satpol PP.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...