Nah, apa pikirku, benar belaka, sesudah PC bisa dihidupkan, jebule apa yang saya cari tak ada. Jadi tambah mbingungi ini. Ya, sudah, saya alihkan fokus ke even lain yang deadline sama-sama di akhir bulan ini. Sama-sama dikejar DL, ceritanya.
Tiga guratan di layar laptop sudah tersimpan aman di biliknya, sebelum 'merantau' masih akan saya baca ulang, barangkali ada diksi yang perlu didandani agar jadi lebih molek. Swasunting perlu dilakukan supaya puitis. Perkara lolos kurasi, itu, mah, nomor sebelas.
![]() |
Di "kota yang paling kesepian" ini rinduku membiru |
Pukul 09.50 pagi tadi, selagi saya asyik menggurat-guratkan larik-larik puisi di layar laptop, hasil kurasi 'puisi humor politik' diumumkan. Semula hanya 50 penulis yang akan diambil, tapi ditambah menjadi 93. Nama saya bertengger di nomor yang terakhir itu.
Apakah saya akan hadir di Jogja saat launching buku nantinya? Entahlah. Tempat launching-nya kampus STPMD APMD, seandainya di Tembi Roemah Budaya, tempat Sastra Bulan Purnama biasa dihelat, mungkin lebih tertarik untuk datang. Lebih besar minatnya.
Di ajang FSY yang keempat, karena masih belum juga beruntung, tentu tidak ada kepentingan hadir, tetapi saya tetap ke Jogja menginap semalam sepulang dari Pacitan. Kembali menikmati suasana Jogja dibingkai setangkup haru dalam rindu. Ah, rinduku membiru.
Oh, ya, 11-14 September ini, mereka yang lolos kurasi menulis puisi tema 'perdamaian dan persaudaraan' berkumpul dalam PPN XIII di TIM, berdatangan dari penjuru Tanah Air, Malaysia, Singapura, Brunei, dan jiran tetangga dari daerah lainnya di Asia Tenggara.
Kembali ke Jogja. Entah mengapa saya selalu merasa 'rinduku membiru' setiap kali 'pulang ke kotamu' ini. Kendati disemati stempel sebagai 'kota yang paling kesepian', kesan itu tak akan dirasakan mereka yang hanya datang sesekali di saat musim 'libur t'lah tiba'.
Merasa sepi di tengah keramaian, memang ada orang yang mengalami hal itu. Dipicu oleh berkurangnya hubungan yang bermakna sesama warga. Hubungan lebih disebabkan oleh kepentingan dalam tugas saat di ruang kerja dan pada saat jam belajar di kampus.
Hubungan antarindividu di lingkungan kerja (kantor) lebih bersifat memenuhi kewajiban menyelesaikan tugas sesuai tupoksi. Dan yang belajar (di kampus), bersifat pada kebutuhan mendapatkan status sebagai orang terpelajar dan mendapatkan gelar nantinya.
Hidup berkelindan di lingkungan kerja dan belajar seperti itu, menimbulkan perbedaan nilai dan minat, adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan (ekspektasi dan realita) yang nyata, memunculkan kecemasan, isolasi emosi, dan perasaan tak berarti.
Fenomena seperti itu disebut kenopsia. Dari bahasa Yunani, Keno yang berarti kosong dan Opsis yang berarti penglihatan atau tampilan. Ada positifnya, yaitu bangkitnya kesadaran bahwa hidup ini fana, yang kekal adalah waktu. Maka, urip kudu murup.
Komentar
Posting Komentar