Langsung ke konten utama

Kehidupan Semula

Bus Damri nomor lambung 5538 akan membawa adek kembali ke Jakarta, melanjutkan perjalanan jadi anak jaksel.




Pagi tadi anak ragil kembali jadi anak Jaksel. Mulai malam ini kami berdua ibunya kembali ke kehidupan semula, hanya berdua. Kami jalani sejak anak-anak merantau di tahun 2012 dan 2016 dahulu.

Anak sulung selesai Smanda 2012 merantau ke Solo, lanjut 2016 ke Surabaya jadi "diaspora", adiknya menyusul 2016 setamat SMA YP ke Jogja, lanjut ke Jakarta sejak 3 Juli 2022 setelah pandemi melandai.

Ini anak termasuk beruntung, usai ujian tugas akhir Oktober 2020 ia ditawari kerja jadi video editor di Dunia Games Jogja, dikontrak 6 bulan. Usai wisuda Maret 2021 dapat kerja di media berita digital.

Kerja WFH di Jogja karena pandemi Covid-19 sampai akhir Juni, begitu ada pelonggaran aturan 3 Juli 2021 ia pulang, lanjutkan WFH dari Lampung. September 2022 dipanggil WFO di Jakarta, kembali ngekos.

Artinya, ketika anak-anak pulang sebentar di momen acara anak sulung menikah, kemudian kembali ke tempat bekerja masing-masing, tidak terlampau membuat nelangsa. Toh saban minggu teleponan.

Adanya telepon pintar bisa mendekatkan yang jauh, pun sebaliknya menjauhkan yang dekat. Iya, kan? Dari seberang pulau kita merasa dekat oleh telepon. Berhadap-hadapan kita merasa jauh oleh telepon.

Dengan keluarga atau teman yang jauh, kita merasa dekat saat berbicara lewat telepon. Dengan orang di hadapan kita, kita merasa jauh ketika ia/dia asik sendiri dengan telepon genggamnya, bersikap cuek.

Maka, kembali ke kehidupan semula ini, kami berdua istri mesti merasa enjoy. Tak bisa dimungkiri semua hal yang tidak kita perhitungkan sebelumnya, mau tidak-mau akan terjadi pada akhirnya. Terjebak sepi.

Anak beranjak dewasa, merantau dan lalu menikah. Dua fase kehidupan yang sama-sama meninggalkan orang tua. Pertama, ditinggalkan merantau. Kedua, ditinggalkan menikah, mereka berumah tangga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...