Langsung ke konten utama

Di Rumah RSS Kami

Rumah RSS kami yang berwarna kunyit 

Satu pekan pasca acara pernikahan anak sulung, satu per satu barang yang sempat disingkirkan, kembali ditata ulang. Satu per satu perkakas dapur pinjaman dikembalikan kepada si empunya barang.

Meski pegal linu belum lucut dari badan, tetapi kerja menata ulang barang dan mengembalikan pinjaman harus sesegera mungkin diselesaikan. Agar tidak punya tanggungan yang membikin sebal di hati.

Dengan rumah sangat sederhana yang kapasitas "penumpang" saat ada acara apa pun, jika perabot rumah tidak disingkirkan sementara, maka tidak mungkin bisa menampung tetamu dengan efektif.

Demi memuat banyak tamu, rumah dari ruang tamu hingga ruang keluarga harus steril dari perabotan rumah. Maka, meja kursi dan rak buku termasuk buku-buku sementara diungsikan ke rumah sebelah.

Kami terima besan dan mantu beserta kerabat pengiringnya dengan lesehan duduk di karpet dalam rumah, sementara tamu jiran tetangga di bawah tenda. Acara serah terima pun berlangsung simpel.

Berjuluk RSS, begitulah rumah yang kami beli saat anak ragil baru berusia 3 bulan. "Ini rezeki anak ragil," kata istri. Sementara dia lulus tes CPNS, rezeki anak sulung karena saat tes si anak baru berusia 21 hari.

Rumah Sangat Sederhana. Tetapi, ada juga orang iseng mempelesetkan menjadi "susah selonjor" atau "sempit sekali" dan lain macam. Padahal, sekarang luas lahan rumah tipe 36 semakin ciut jadi 72 M2.

Beruntung di masa kami membelinya dahulu masih berlahan 84 M2. Kini, selain kian ciut luas lahannya, harga rumah juga semakin tinggi. Kaum milenial dan genzi semakin sulit bisa kebeli rumah impiannya.

Alhamdulillah, di rumah RSS kami, sama sekali kami tidak merasa sempit. Tempat tinggal boleh sempit, tetapi hati kami selalu lapang karena rasa syukur tiada terhingga. Biar RSS, hati senantiasa happy.

Di rumah RSS kami, di situlah kedua anak kami tumbuh besar, dengan pengasuhan berlimpah kasih sayang, bersekolah dari TK hingga SMA. Kemudian mereka merantau dan hanya pulang saat lebaran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...