Langsung ke konten utama

Memanggul Sedih

Ilustrasi orang bersedih. Image source: Strategi.id

Saya berdua istri hanya bisa membersamai sahibul musibah dua malam saja. Malam Selasa dan Rabu atau tahlil hari/malam kedua dan niga hari atau niga malam. Keesokan harinya, Rabu, 24/1/2024, kami berdua kembali ke Bandar Lampung, memanggul sedih.

Sedih rasanya meninggalkan abang Fathon sendiri di rumah. Sepeninggal ngah Ima, nanti di bulan suci Ramadan ia akan bangun makan sahur sendiri. Dua anaknya, yang sulung dan ragil menetap di Ogan Ilir dan Indralaya sebagai guru SMA dan SD di sana.

Bukan saya dan istri saja yang pulang sehabis niga hari, melainkan anak sulung dan ragilnya itu juga harus segera kembali ke Ogan Ilir dan Indralaya, tentu tidak mudah berlama-lama meninggalkan pekerjaan sebagai guru. Kegiatan belajar siswa akan terganggu.

Abang saya Ari yang dari Jatibarang juga pulang bersama Yayu Iyah pada siang hari naik bus Ranau Indah sampai Bekasi. Ditinggalkan serentak oleh anak-anak dan adik-adiknya begitu, entah apa yang dirasa abang Fathon hari-hari kemudian. Tak bisa saya membayangkannya.

Beruntung anaknya yang nomor dua menetap di Ranau itulah. Hanya saja, semenjak berumah tangga, dia dan suami memutuskan membangun rumah sendiri. Baru tiga bulan ini dianugerahi anak ketiga seorang putri. Sepertinya dia harus rajin-rajin meniliki abahnya.

Mengajak mengobrol, membantu kesiapannya berbuka puasa atau sahur nantinya. Nanti jelang keberangkatan ke Tanah Suci menunaikan ibadah haji juga dibantu kesiapannya. Dan, yang jelas saban hari mungkin perlu dipasok ransum sarapan dan makan siang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...