Langsung ke konten utama

JTTS yang Bikin Saro

Bus ALMIRA trayek Belitang-Lampung-Yogya sedang melintas di JTTS ruas Natar--Terbanggi. (foto: zabidi yakub)

Ternyata JTTS itu bergelombang. Beruntung saja merasakannya hanya dari get Natar hingga exit tol Terbanggi, tidak panjang-panjang amat. Kalau saja sampai Pelembang sano, cacam lokak saro badan.

Kalau yang arah Bakauheni memang sudah sering melewatinya, yang arah Terbanggi baru hari ini tadi. Teraso nian bedanyo. Nyata terkesan terburu-buru penyelesaiannya. Demi peresmian yang dipaksakan.

Pulang kampung juga akhirnya setelah ditunda-tunda sekian lama. Dan, lebih bisa terlaksana karena kabar duka yang amat tidak terduga. Ngah Ima berpulang kemarin siang dan hari ini baru ada travel ke Ranau.

Perjalanan yang sedikit membagongkan, sudah lama sekali tidak merasakan goncangan berkendara di jalan lintas sumatra yang bergelombang. Serasa naik motor boat di danau Ranau saat sedang berombak.

Tetapi, sedikit terhibur ketika singgah makan di RM Lumayan 2. Pindang tulang panas yang sedap amat membetot keringat tumbuh di dahi dan punggung. Badan jadi panas sebab dapat energi pembakaran.

Tahlil hari kedua buat ngah Ima. Diawali tetangguh terlebih dahulu, dua orang saling berbalasan. Lalu jeda sejenak untuk menikmati minuman tersuguh; hitam, putih, dan merah pekat (kopi, susu, dan teh).

Selesai doa diaminkan, jemaah takziah antre makan malam a la prasmanan. Menunya gulai rancang alias pindang bening a la Ranau. Siang tadi, bagi tamu pentakziah, tersuguh menu gulai lalecap ikan Mujair atau Nila. Agak sedikit rancu/ragu mengenalinya.

Simpel dan sederhana. Begitulah cara tahlilan atau beramal di kampung kami. Sejak dahulu, sih, sudah begitu. Beda cara dengan di kota yang umumnya di hari/malam pertama dan kedua hanya suguhan kue jajanan pasar. Baru niga-hari, besek atau nasi kotak.

JTTS yang bikin saro dak urung membuat palak aku pening. Pertama, jendela travel gak ditutup sempurna lalu AC difungsikan. Kedua, penumpang pada doyan merokok. Mana mungkin kan AC dipasang membuat semriwing. Dan, untung saja saya bawa obat pening.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...