Langsung ke konten utama

Saudara Seperantauan

Ilustrasi, image source: Inamigratory

Berteleponan dengan abang Ari di Jatibarang, saya tiba-tiba menyinggung Bang Yos yang dianggap “saudara kandung” oleh abang Ari. Apa pasal? Karena mereka berdua sama-sama perantau di sana. Sesama dari Pulau Sumatra. Bang Yos adalah perantau dari minang.

Ternyata Bang Yos sudah berpulang pada 1 Juli 2021 silam karena “dimangsa” Covid-19. Perawakannya yang lumayan gemuk barangkali saja menyimpan berbagai penyakit yang bisa jadi memicu datangnya serangan jantung tiba-tiba dan wafat. Jahat betul, ya, Covid-19.

Di masa Covid-19 melanda, orang meninggal dunia di rumah sakit oleh penyakit apa pun akan “di-covid-kan” entah mengapa begitu. Konon ada kompensasi dari pemerintah yang diterima rumah sakit yang merawat pasien. Semacam ada transaksional terhadap nyawa.

Jadi, semakin banyak pasien meninggal di rumah sakit yang di-covid-kan, maka semakin banyak cuan kompensasi yang mengucur ke rumah sakit. Tak urung kan upaya meng-covid-kan pasein yang meninggal dunia strategi yang dilakukan berbagai rumah sakit.

Pastinya Bang Yos wafat oleh Covid-19 atau bukan, yang jelas pemulasaraan jenazahnya dilakukan di rumahnya bukan di rumah sakit. Dimakamkan warga sekitar tempat tinggalnya sebagaimana lazimnya menyempurnakan jenazah warga pada umumnya.

Begitu cerita abang Ari. Saya menyinggung sewaktu anak abang Ari menikah, saya mengajak Bang Yos untuk berfoto bareng manten. Nah, abang Ari merasa tertarik untuk menjadikan foto itu sebagai kenang-kenangan, maka ia minta dikirimi foto dimaksud.

Saudara seperantauan adalah orang yang bertemu di rantau, entah satu kampus, satu tempat indekos atau satu kantor tempat bekerja. Didasari saling cocok satu sama lain lalu akrab bak saudara kandung. Meski tanpa pernyataan secara lisan, batin yang merasa.

Perasaan cocok satu dengan yang lain itu, batin yang paling tahu. Karenanya, meski tidak saling menyatakan perasaan yang ada dalam hati melalui ucapan, pengejawatahannya bisa ditangkap dalam perbuatan saling memberi perhatian, bantuan moril dan materiil.

Biasanya kasih sayang antarorang yang satu rasa “senasib sepenanggungan” di rantau melebihi daripada saudara kandung. Maka, abang Ari menyatakan seperti kehilangan saudara kandung atas kematian Bang Yos. Sungguh mengharukan pertukaran cerita kami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...