Sambol Blutak

Sambal matah durian

Nah, apa pula sambol blutak itu. Bermula cerita, waktu pulang ke Ranau dalam balutan dukacita Senin (22/1) kemarin, sore Selasa di acara niga-hari ngah Ima, agar tidak kelaparan saat tahlil bakda magrib hingga usai Isya’, kami makan terlebih dahulu. Terhidanglah sambal matah ikan mujahir dan gulai peros mujahir.

Penasaran dengan nikmatnya sambal matah ikan mujahir itu, siang tadi saya buat sambal matah durian. Itung-itung, “tak ada tempoyak, durian pun jadi” atau “tak ada ikan, apa pun jadi.” Nah, cilakanya, “apa pun” itu tidak dinyana durian yang mengambil peran sebagai pemeran pengganti. Jadi apa pun, deh.

Sebelum saya comot saat makan siang, terlebih dahulu saya jepret pake kamera ponsel, kemudian saya unggah di WAG Bani Abdurahman, yakni grup “cawe-cawe” yang menghimpun keturunan tamong Abdurahman yang ada di Ranau, Jabodetabek, Bandung, Indramayu, Pekalongan, Yogya, Bandar Lampung, dan OKI.

Ada yang comment sambol blutak tadi. Saya yang baru tahu kali ini jadi tanda tanya, apa pula itu sambol blutak? Ya, sudah, tidak pula saya berpanjang cerita mempertanyakannya. Saya teruskan makan menikmati sambal durian itu. Tak terasa keringat bertumbuhan di dahi. Luar biasa nikmat. “Mati bangik,” kata orlam.

Alhasil rasa penasaran akan sambal matah ikan mujahir yang kami nikmati di Ranau kemarin Selasa, 23/1/2024, terbayar lunas. Saya jadi teringat pindang tulang di RM Lumayan 2 Bukit Kemuning yang saya dan istri santap sewaktu hendak pulang ke Ranau Senin (22/1) yang juga luar biasa nikmat tiada tara.

Saking nikmatnya ditandai oleh merekahnya keringat di dahi. Sayang, ketika hendak diulang sekembalinya dari Ranau Rabu (24/1) kemarin lusa, pindang tulang tidak ready. Untung ada pengganti, pindang patin yang sama nikmatnya, bisa jadi pengobat rasa gelo. “Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan