Langsung ke konten utama

Lagi, Lomba Esai

ilustrasi, credit picture: Event Hunter Indonesia

Lagi, Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung menaja lomba menulis esai. Ini tema besarnya, “Membangun Bumi Ruwa Jurai dengan Kearifan Lokal Lampung” dan beberapa tema turunannya, peserta dipersilakan pilih.

Masa pengiriman naskah esai, 10 Juni – 15 Juli 2023. Pengumuman 15 naskah esai 27 Juli 2023, Workshop penulisan esai 3 Agustus 2023, Revisi naskah 6 – 13 Agustus 2023, Pengumuman 3 terbaik 15 Agustus 2023.

Lagi, saya tergerak buat ikut, setelah memperhatikan tema besar dan tema turunan yang ditetapkan panitia. Esai sudah selesai saya tulis sejak akhir Juni, tetapi tidak langsung saya kirim. Saya ‘cek ombak’ dahulu.

Ngintip siapa saja yang gercep. Dari laman facebook satu dewan juri bisa terlihat esai siapa dan judulnya apa. Semula ada empat esai, terus bertambah menjadi 11, 13, 17, dan hingga Jumat (14/7) pagi 20 esai masuk.

Sewaktu hendak ke Jogja—Pacitan 7 Juli, semula saya hendak bawa laptop agar bisa mengirim esai dari sana. Tetapi istri saya meyakinkan bahwa di sana tidak perlu lama. “Ok, jika tanggal 12 sudah kembali,” kilah saya.

Karena 12 Juli itu estimasi saya untuk mengirimnya. Dan, benar saja, 11 Juli berangkat dari Jogja, sampai rumah 12 Juli. Tetapi, saya urungkan niat mengirim tanggal 12. Saya jatuh demam, maka butuh istirahat.

Sambil istirahat, saya memantau sudah berapa naskah esai yang masuk. Sabtu (15/7) dini hari ini (nanti), tepat pukul 24:00 WIB adalah deadline. Ah, jadi ingat deadline berita saat dahulu kala masih ‘jadi sesuatu’ di koran.

Maka, kemarin malam, pukul 20:22, saya kirimkan esai yang sudah saya siapkan, menyusul 20 judul esai yang sudah masuk hingga pagi kemarin. Saya juga langsung kirim pesan melalui WhatsApp untuk mengonfirmasi.

Tadi, pukul 19:10, masuk balasan panitia bahwa naskah esai saya telah mereka terima. Ayem deh, tinggal saat menunggu. Menunggu apa? Menunggu kompilasi esai peserta lomba itu menjadi buku yang enak dibaca.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...