Momen 1
Ini
kelanjutan cerita di blog ini yang berjudul “Karakter Manusia” yang diposting
tanggal 3 Juli silam. Siang tadi prosesi lamaran putri kedua adik sepupu saya
telah dilangsungkan. Dahulu, di blog-post 3 Juli itu, ceritanya, kan, perihal
keraguan pihak calon besan adik sepupu.
Sebab
tinggal di Lampung yang stigmanya sudah tahu-lah, ya, sehingga mereka sedikit ragu terhadap “asal usul” gacoan anak lelaki mereka. Padahal, adik
sepupu saya, kan, hanya sekadar beralamat kehidupan doang karena dia bersama suaminya
berprofesi sebagai ASN.
Adik
sepupu saya sama seperti saya berasal dari Ranau (Sumatra Selatan) dan suaminya
asli Jogja. Anak sulung mereka cowok lahir di Jogja dan adiknya cewek, yang
tadi siang dilamar, lahir di Nusa Tenggara Barat saat sang suami tugas di sana
sebelum pindah ke Lampung.
Padahal,
sebenarnya setali tiga uang. Adik sepupu saya juga sedikit ragu terhadap “asal
usul” keluarga calon besannya itu. Terlintas di benaknya bayangan cerita
sumbang atau kabar kabur perihal karakter “orang-orang” dari wilayah kehidupan
calon besannya itu.
Tetapi,
ya, sudah. “Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak” atau “kalau
jodoh takkan lari ke mana” kata orang. Hidup bak air mengalir, ke mana pergi mengikuti kodrat Sang Kuasa. Kehidupan
di depan misteri karena rahasia Ilahi. Nerimo
ing pandum saja.
Alkisah, siang tadi engagement telah digelar dengan sukses. Bertemu sedulur yang berjauh-jauhan dan lama tidak saling bertemu. Karena ini sepupu, mau tidak-mau, saya dan istri tertahan oleh “banyak kisah banyak cerita” sehingga tidak terasa sudah pukul 15:30, saatnya pamit.
Agak berat berpamitan, tetapi alibi saya bahwa malam sekira pukul 19an akan zoominar dengan pengelola Yayasan Kebudayaan Rancagé sehubungan ditundanya penyerahan hadiah Sastera Rancagé yang rencananya diadakan di Bandung kemudian dialihkan ke Bali.
Ketika adik Mis dan Widodo suaminya datang ke rumah mengabarkan sekaligus mengundang bahwa anak gadis mereka Disvia akan dilamar cowok Serang. “Waduh, tanggal 29 itu saya ke Bandung mau ada acara menerima hadiah sastra, mungkin nggak hadir,” kata saya.
Ya, sedianya saya ke Bandung menerima Hadiah Sastera Rancagé dari Yayasan Kebudayaan Rancagé, tetapi urung. Senin, 24/7, pukul 07:16 saya ditelepon pihak yayasan mengabarkan pembatalan acara. Akan diganti acara bincang-bincang via zoom pada Sabtu malamnya.
Tadi
saya menyimak acara bincang-bincang bertema “Merawat Jejak Ajip Rosidi” dengan
tiga pembicara, Cecep Burdansyah, Yeni Mada, dan Niduparas Erlang dimoderatori
Dhipa Galuh Purba. Start pukul 19:30 dari semula hingga pukul 21:00, eh, hingga
malam melarut.
Karena
di awal, moderator alpa memberi batasan waktu, maka penampil pertama Kang Cecep
memakan waktu lebih 30 menit. Sedekat pantauan saya, ada 47 participant yang
mengikuti. Satu per satu mundur di tengah jalan. Saya juga leave dari forum
pukul 23:15.
Bincang-bincang
ini dalam rangka mengenang tiga tahun Bapak Ajip Rosidi berpulang. Banyak
legacy yang beliau tinggalkan. Lewat Yayasan Kebudayaan Rancagé, beliau
menilaskan jejak sejarah memuliakan bahasa daerah dengan menganugerahi
penulisnya hadiah.
Sedari
pukul 10:00 pagi di acara engagement dilanjut mengikuti zoom dari pukul 19:30
hingga pukul 23:15 yang baru beberapa menit lalu saya leave, saya tidak
seberapa merasa lelah. Saya merasa dua momen indah tadi semuanya berkesan.
Hormon endorfin saya metu.
Kembali
kepada “saling menerima” kenyataan antara kedua belah pihak (yang besanan),
tentu karena adanya perspektif yang baik. Dari mana pun “asal usul”
menggambarkan karakter seseorang. Butuh perspektif agar tidak salah pilih
karena adanya stigma negatif.
Komentar
Posting Komentar