Langsung ke konten utama

Oalah...,

Si "buah tangan" 

Sudah lama sih sering ngeliat buah ini nih. Kalau lagi musim tak jarang ada di pasar buah. Di Superindo justru jarang. Hanya sebatas ngeliat. Nggak niat beli karena belum ngeh buah apaan. Sedikit penasaran.

Kemarin petang calon mantu diantar papanya sowan ke rumah, ndilalah 'buah tangan' yang dibawanya jeruk mandarin dan buah ini nih. Oalah..., ternyata ini nih Leci. Baru ngeh. Kenalnya yang sudah dikalengi.

Soalnya, buah yang biasa kami bawa pulang bila abis ke Superindo, adalah Pear Hijau yang lebih renyah dan manis daripada Pear Kuning yang meskipun kaya air, tetapi rasanya cenderung lebih masam.

Lebih sering sih beli jeruk. Kalau lagi musim Jeruk Medan, beralih kalau lagi musim Jeruk Santang. Saat ini lagi masanya banjir Jeruk Mandarin, nggak cuman di Superindo, di pasar tradisional mudah ditemukan.

Setelah saya cicip, rasanya tidak jauh beda dengan yang sudah dikalengi, tetapi buah Leci segar lebih manis dan airnya terasa legit. Kalau yang dikalengi kan sudah melalui proses pabrikasi, gak orisinil lagi.

Buah apa pun, kalau masih segar tentu lebih jos dibanding yang sudah diolah melalui proses pabrik, permentasi, dan kimiawi seperti buah kaleng dan manisan. Kalaupun diolah, dirujak atau petis saja.

Atau kalau tidak dibuat es buah atau sop buah. Dahulu kali pertama dengar istilah sop buah sempat mikir apaan. Setelah membeli dan merasakan, jadi ketagihan. Oalah..., ternyata semacam es campur.

Dan, bila bulan Ramadan, saban magrib sop buah terhidang menemani bakwan dan pempek. Maka, sejak jauh hari cuka sudah disiapkan. Ini nih menu favorit anak-anak bujang bila mudik saat Lebaran.

Sebelum anak-anak merantau, buat buka puasa saya sering bikin 'sop buah' sendiri. Saya beli aneka buah terutama nangka. Saya meyakini, 'sop buah' made in sendiri lebih enak karena pengaruh nangkanya itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...