Karakter Manusia

Ilustrasi foto milik pendidikan sejarah (sejarah.upi.edu)

Suatu ketika di tahun ’80, saat mudik untuk merayakan Idulfitri bersama orang tua, kami bertiga anak lelaki ayah diberi wejangan perihal hendak hidup di mana dan menikah dengan siapa. Tetapi, ayah mewanti-wanti kalau memungkinkan menghindari dua etnis.

Saat itu saya masih SMA, belum begitu paham karakter dua etnis yang disebut ayah. Yang namanya perantau, probabilitas untuk berteman dengan siapa pun terbuka luas. Apalagi, Jogja sebagai kota pelajar memang jadi pusat perbauran antaretnis dari pelosok Nusantara.

Ibarat sambil menyelam minum air, saya memperluas pegaulan dengan orang beretnis apa pun baik sewaktu SMA, kuliah, dan lingkungan tempat indekos, termasuk dua etnis yang dimaksud ayah agar bisa menggali apa pesan moral yang tersirat di dalam wejangan beliau.

Bagaimana pun penting menakar kebenaran melalui fakta sesungguhnya maupun persepsi. Kadang suatu etnis dipersepsikan begini, tetapi faktanya begitu. Karakter manusia adalah hasil didikan orang tua, sekolah, dan lingkungan pergaulan dalam masyarakat.

Orang tua sebagai ‘madrasah pertama’ bagi anak-anak tentu mengajarkan hal-hal yang diyakini baik sebagai fondasi karakter yang baik agar anak-anak memiliki attitude yang baik. Ditambah pula didikan di sekolah, memadukan pengajaran intelektual dan spiritual.

Sebagai ‘madrasah kedua’ sekolah berperan mengasah logika berpikir siswa untuk bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik, mana yang benar dan salah. Walau pada akhirnya, output-nya belum tentu begitu. Karena lembaga pendidikan bukan mesin fotokopi.

Faktanya, seberapa keras guru mendidik siswa agar berkarakter baik, pada akhirnya tidak semua siswa 100% menjadi baik. Tetap akan ada yang berkarakter buruk. Latar belakang keluarga dan juga leluhurnya ke atas, jadi faktor yang memengaruhi watak dasarnya.

***

Jadi, kemarin petang adik sepupu saya sowan ke rumah, mengabarkan bahwa anak gadisnya akan dilamar. Ceritalah dia perihal etnis calon besannya. Dia galau karena dihantui persepsi yang berkembang sebagai ‘rahasia umum’ bahwa etnis itu begini begitu.

Saya jadi teringat wejangan almarhum ayah. Beliau mewanti-wanti untuk jika memungkinkan hindari menikah dengan dua etnis, sebut saja X dan Y. Dari sepanjang amatan saya, karakter manusia memang beda-beda. Tak ubahnya barang, ada warna-warni.

Saya pun sampai pada simpulan. Bukan hanya dua etnis dimaksud ayah yang karakternya tidak bagus, melainkan masih ada etnis lainnya. Karena itu tadi, karakter manusia adalah hasil didikan orang tua, sekolah, dan lingkungan di mana tumbuh besar.

Demi menguji kebenaran secara faktual, tidak hanya tersandera oleh persepsi, si adik sepupu itu mencari bantuan untuk investigasi. Memanfaatkan narasumber menyigi latar belakang keluarga calon besan dan calon mantunya itu siapa, apa, dan bagaimana sebenarnya.

Saya jadi teringat juga orasi ilmiah Dahlan Iskan di Indramayu, 20 Mei 2023. Kata Dahlan Iskan, saat ini ada kebenaran baru. Kebenaran di atas kebenaran. Kebenaran yang bukan berdasarkan fakta, melainkan berdasarkan persepsi yang dibentuk oleh frame.

Saat ini apa pun di-framing agar diyakini sebagai suatu kebenaran. Dipeliharalah buzzer untuk ditugaskan menciptakan framing. Akhirnya, di masa kini orang lebih percaya kepada persepsi daripada fakta. Karena persepsi itu dibungkus dengan frame yang menarik.

Ada satu buku yang saya sangat idamkan untuk dibeli dan membacanya. Tentang, kita yang lahir hari ini adalah hasil persilangan jutaan leluhur di atas kita. Karena itu, bila kita menemukan bermacam karakter, wajar. Itu hasil dari persilangan berbagai karakter.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan