Pembenaran Persepsi
![]() |
credit picture: Bootcamp |
Teman ‘jalan-subuh’ saya pensiunan guru matematika. Alangkah banyak pantangan yang ia pegang teguh. Daging ayam—bahkan telurnya—, daging sapi apalagi kambing. Sayuran berbahan buncis, nangka, dan apa lagi, lupa saya. Emping jangan sampai disuguhkan.
Di samping tidak bisa banget makan telur karena takut kolesterol naik, ia juga tidak bisa telat sarapan karena takut asam lambung naik. Karena itu, sambil jalan subuh, ia sekalian hunting sayur di warung untuk sarapan pukul 06. Apa nggak kepagian ya sarapannya?
Pokoknya yang ia anggap akan meningkatkan kadar kolesterol sangat ia hindari. Saya pancing,
dalam satu bulan kira-kira makan telur berapa? “Sangat jarang,” jawabnya. Sementara
saya dalam satu hari bahkan bisa tiga butir telur, dengan asumsi jika makan tiga
kali.
Makan tiga kali sehari,
bagi sebagian orang sudah seperti aturan tidak tertulis. Bagi sebagian
lainnya itu terlalu banyak. Istri saya punya kebiasaan sarapan kue jajanan
pasar (apa sajalah) dengan segelas kopi. Baru makan besar nanti pukul 10 dan makan
lagi pukul 16.
Dahulu saya penganut mazhab ‘sarapan pagi’ sedari SD hingga bekerja. Begitu menikah dengan orang yang nggak biasa sarapan, saya terhanyut arus. Akhirnya, jam sarapan saya bahkan berantakan, tidak teratur dan pasti. Akibatnya asam lambung sering ‘naik tangga.’
Di TikTok banyak sekali
orang membahas masalah kolesterol. Umumnya menjelaskan bahwa telur tidak
menjadi penyebab kadar kolesterol naik. Jika sedang scroll TikTok, saya bertemu penjelasan bahwa tanpa makan telur pun, tubuh kita memproduksi
kolesterol.
Artinya, makan ataupun
tidak makan telur, atau bahan kolesterol lainnya, tubuh kita dengan sendirinya
akan memproduksi kolesterol karena memang tubuh kita butuh kolesterol. Kalaupun tidak ada asupan dari luar berupa makanan, tubuh akan mengadakannya sendiri.
Saya hingga saat ini memang
belum pernah periksa kadar gula darah, kolesterol, dll. Tetapi, dengan tidak
ada dampak signifikan dari mengonsumsi telur tiga butir sehari pun, saya jadi
tercerahkan oleh penjelasan di TikTok, telur tidak meningkatkan kadar
kolesterol.
Nah, teman ‘jalan-subuh’
saya itu fanatik buta pada nasihat pengobat alternatif langganannya. Jika asam
lambungnya naik atau tengkuknya pegel-pegel sehabis ‘menabrak pantangan’, ia
segera minta obat herbal di pengobat alternatif yang menetapkan pantangan itu.
Dalam hati saya, guru
matematika itu mestinya, kan, rasionalis. Logika berpikirnya mestinya eksak
banget gitu. Seperti halnya soal matematika, dengan memakai rumus tertentu,
akan ketemu hasil perhitungannya secara pasti. Kebenarannya mutlak, bukan
persepsi.
Jika ia begitu fanatik pada nasihat pengobat alternatif langganannya sehingga ogah makan telur sama sekali, demi menghindari naiknya kadar kolestelor. Berarti, ia adalah orang yang menganut mazhab ‘pembenaran persepsi’. Kalau begitu, apa guna jadi guru matematika?
Komentar
Posting Komentar