Langsung ke konten utama

“Hilal Muharram”

Hilal, credit picture: The News International

Mengapa bulan Muharam datang, ya, udah datang aja! Disambut dengan berbagai perayaan. Kapan atau hari apa dan tanggal berapa jatuhnya, ya, udah diterima aja tanpa perdebatan. Mengapa tidak diadakan sidang isbat penentuan kapan jatuhnya? Kok, ya, sepi-sepi aja.

Mengapa hanya saat akan menentukan 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 1 Zulhijjah saja dilakukan rukyatul hilal oleh Kemenag atau kaum nahdiyyin? Mengapa tanggal 1 Muharam dan bulan selanjutnya tidak? Apa karena di kalender sudah tercantum begitu jelas, tercetak jelas?

Tahun 1444 H yang baru saja berlalu, pengikut NU dan Muhammadiyah mengawali Ramadan ‘bisa jalan’ bersama-sama, tetapi saat Idulfitri dan Iduladha ‘menempuh jalan’ masing-masing. Karena masing-masing punya keyakinan sangat ‘berlainan kutub.’

Muhammadiyah yakin dengan metode hisab, NU masih ‘terus’ berkutat dengan rukyatul hilal. Akhirnya, pengikut masing-masing ‘terus’ berbeda hari dalam merayakan Lebaran. Karena itu, hari silaturahim, saling berkunjung pun harus menyesuaikan keadaan.

Dengan adanya gawai di tangan kita, kesannya sedikit dimudahkan dalam hal menyiasati tanggal. Kalau toh hanya sebatas untuk mengetahui hari ini nih tanggal berapa, oke, bisa terbantu oleh gawai di genggaman. Orang sepertinya tidak perlu repot [bawa kalender]?

Tetapi, orang yang berkepentingan untuk mengetahui kapan waktu untuk puasa ayyaumul bidh tanggal 14, 15, dan 16 bulan Hijriah, mau tidak-mau, ya, harus punya kalender juga. Di kalender, kan, selain tanggal nasional Tahun Masehi, juga dicantumkan tanggal Hijriahnya.

Bahkan, di kalender Tahun Masehi atau penanggalan nasional bukan hanya tanggal puasa ayyaumul bidh saja, melainkan tanggal 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 1 Zulhijjah sudah tetcetak dengan jelas kapan jatuhnya. Nah, mengapa masih diperlukan sidang isbat segala?

Oke, 1 Ramadan 1444 H lalu, NU dan Muhammadiyah bareng. 1 Syawal 1444 H, Muhammadiyah berlebaran Idulfitri dahulu dan NU belakangan. Begitu pun saat berlebaran Iduladha, keduanya kembali mengulang ketidaksamaan pelaksanaan. Dewek-dewek bae sira.

Padahal, di kalender sudah jelas-jelas tercetak, lho, Jal. 1 Ramadan 1444 H jatuh pada hari Kamis, 23 Maret 2023, 1 Syawal 1444 H jatuh pada hari Jumat, 21 April 2023, dan 1 Zulhijjah 1444 H jatuh hari Selasa, 20 Juni 2023. Maka, Iduladha jatuh pada Kamis, 29 Juni 2023.

Jadi, di kalender, Idulfitri yang lalu (Jumat, 21 April) sudah sesuai seperti yang Muhammadiyah pahami. Iduladha (Kamis, 29 Juni) sudah sesuai seperti yang NU pahami. Maka, secara kalender, kedua ormas Islam ini ‘berjalan sesuai paham masing-masing.’ Bener kabeh.

Walaupun mencermati hasil hisab a la warga Muhammadiyah dan hasil rukyatul hilal a la warga NU, saya tetap ‘lebih meyakini’ apa yang tercetak di kalender. Bukankah orang menyusun hari dan tanggal kalender terlebih dahulu melakukan hisab dan hilal? Kurang opo, hayo!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...